Catatan Popular

Selasa, 14 Januari 2014

HAKIKAT AKAL MENURUT FILOSOF MUSLIM

1.    Al-Kindi

Menurut Al-Kindi akal sebagai suatu potensi sederhana yang dapat mengetahui hakikat-hakikat sebenarnya dari benda-benda. Akal, menurutnya, terbagi menjadi tiga macam yaitu:[1][3]

a)    Akal yang selamanya dalam aktualitas. Akal pertama ini berada di luar jiwa manusia, bersifat Ilahi, dan selamanya dalam aktualitas. Karena selalu berada dalam aktualitas, akal inilah yang membuat akal yang bersifat potensi dalam jiwa manusia menjadi aktual. Sifat-sifat akal ini ialah sebagai berikut:
1)    Ia adalah Akal Pertama.

2)    Ia selamanya dalam aktualitas.

3)    Ia membuat akal potensial menjadi aktual berpikir.

4)    Ia tidak sama dengan akal potensial, tetapi lain daripadanya.

b)    Akal yang bersifat potensial, yakni akal murni yang ada dalam diri manusia yang masih merupakan potensi dan belum menerima bentuk-bentuk indrawi dan yang akali.

c)    Akal yang bersifat perolehan. Ini adalah akal yang telah keluar dari potensialitas ke dalam aktualitas, dan mulai memperlihatkan pemikiran abstraksinya. Akan perolehan ini dapat dicontohkan dengan kemampuan positif yang diperoleh orang dengan belajar, misalnya tentang bagaimana cara menulis. Penamaan perolehan, agaknya dimaksudkan oleh Al-Kindi untuk menunjukkan bahwa akal dalam bentuk ini diperoleh dari akal yang berada di luar jiwa Manusia, yakni akal pertama yang membuat akal potensial keluar menjadi akal aktualitas 

d)   Akal yang berada dalam keadaan aktual nyata, ketika ia aktual, maka ia disebutbakal “yang kedua”. Akal dalam bentuk ini merupakan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas. Ia dapat diibaratkan dengan proses penulisan kalau seorang sungguh-sungguh melakukan penulisan.

Al-Kindi memang tidak melakukan pembahasan mendalam tentang akal ini. Kendati demikian, apa yang dilakukan ini telah merupakan peretas jalan bagi pembahasan oleh kaum filusof muslim selanjutnya.


2.    Al-Farabi

Al-Farabi mencoba memilah jiwa yang ada pada jiwa itu kepada tiga macam. Pertama daya gerak, seperti gerak untuk makan, gerak untuk memelihara sesuatu, dan gerak untuk berkembang biak. Kedua, daya mengetahui seperti mengetahui dalam merasa dan mengetahui dalam berimajinasi. Ketiga, daya berpikir yang dipilah-pilahkan kepada akal praktis dan akal teoritis.[2][4]

Tentang akal praktis dan teoritis, masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda, akal praktis berfungsi untuk menyimpulkan apa yang mesti dikerjakan oleh seseorang. Sedangkan akal teoritis berfungsi untuk membantu dalam menyempurnakan jiwa.[3][5]

Selanjutnya akal teoritis dibagi lagi kepada tiga macam. Pertama, akal potensial atau akal fisik (material). Akal ini dapat menangkap bentuk-bentuk dari barang-barang yang dapat ditangkap dengan panca indra. Kedua, akal aktual, akal biasa (habitual). Akal ini dapat menangkap makna-makna dan konsep-konsep belaka. Ketiga, akal mustafad, akal yang diperoleh (acquired). Akal ini mampu mengadakan komunikasi dengan Sang Pencipta.[4][6]

3.    Ibnu Sina
Ibnu Sina merumuskan bahwa akal merupakan suatu kekuatan yang terdapat dalam jiwa. Menurut Ibnu Sina ada dua macam akal yaitu akal manusia dan akal aktif. Semua pemikiran yang muncul dari manusia sendiri untuk mencari kebenaran disebut akal manusia. Sedangkan akal aktif adalah di luar daya kekuatan manusia, yaitu semua pemikiran manusia yang mendatang kedalam akal manusia dari limpahan ilham ke-Tuhanan. 

Ibnu Sina selain dari teori akal tersebut diatas, juga terkenal dengan rumusannya sebagai berikut: akal (pemikiran) membawa alam semesta ini kedalam bentuk-bentuk. Serta semesta itu serta merta berada sebelum benda-benda , didalam benda-benda itu sendiri dan sesuda benda-benda itu tercipta. Sebelum benda-benda adalah di dalam pikiran Tuhan. Umpamanya tuhan hendak menciptakan kucing, sudah tentu dalam pikiran Tuhan sudah ada bentuk kucing yang akan diciptakan-Nya. Di dalam benda, jika kucing telah tercipta, maka pada tiap-tiap kucing itu akan didapati sifat-sifat kucing. Sesudah benda serba semesta itu tetap masi ada  yaitu dalam pikiran kita. Jika kita telah melihat banyak kucing, maka tampak persamaan antaranya dan dengan demikian sampailah kita kepada bentuk kucing pada umumnya.

4.    Al-Ghazali

Akal menurut Al-Ghazali bukanlah sesuatu yang sangat tinggi kedudukannya. Menurut beliau, adalah al-dzauq dan ma’rifat sufilah yang justru akan membawa seseorang kepada kebenaran yang meyakinkan. Pendapat ini beliau cantumkan dalam kitabnya yang terus menjadi perdebatan hingga sekarang, yakni tahafut al falasifah (kerancuan filsafat). 

Pemikiran Al-Ghazali ini, konon sangat mempengaruhi dunia islam saat itu. Bahkan banyak juga para pengamat dunia islam yang menganggap bahwa buku dan pengaruh Al-Ghazali inilah yang membuat islam terpuruk dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan sampai hari ini.

Menurut Imam Al Ghazali (1058-1111) , seorang pemikir besar Islam, dengan mengacu pada pengertian kerja atau fungsi akal menyatakan bahwa akal itu tidak bertempat, baik di dalam maupun di luar badan manusia, bersifat immaterial, dan tidak terbagi bagi. 
Akal berhubungan dengan badan dalam bentuk : (1) muqbil ala al-badan (menghadap badan), mufid lahu (memberi keuntungan), dan (3) mufidh alaih (mengalir kepadanya). Tiga bentuk ini menitik beratkan pada fungsi, proses atau kegiatan. Akal sebagai organ yang mengikat dan menahan secara filosofis juga dijelaskan oleh pemikir Islam dari Malaysia, Syed Muhammd Naquib Al Attas, adalah sesuatu organ aktif dan sadar yang mengikat dan menahan objek ilmu dengan kata-kata atau bentuk-bentuk perlambang lain.

Ini menunjukkan pada fakta yang sama dan bermakna sama dari apa yang ditunjuk oleh kata : qalb, ruuh, dan nafs. Sebagaimana Al Ghazali, Al-Attas berpendapat bahwa keempat kata itu bermakna sama. Kesemuanya menunjukkan realitas yang bertingkat-tingkat (maraatib al wujuud).Pada masa pra-Islam, akal hanya berarti kecerdasan praktis yang ditunjukan seseorang dalam situasi yang berubah-ubah.


5.    Ibnu Rusyd
Menurut Ibn Rusyd wujud jiwa paling nyata tampak dalam akal yang dipunyai manusia.Akal manusia itu adalah satu dan universal. Lebih dalam "akal yang aktif" yang dimaksud bukan saja akal yang esa dan universal, melainkan juga menyangkut "akal kemungkinan" (reseptif).

Akal kemungkinan lah yang membuat manusia sungguh menjadi individu ketika ia berhubungan dengan tubuh masing-masing manusia. Melihat sifat akal yang ada dalam individu tersebut sifatnya reseptif, resikonya bahwa ketika manusia meninggal, maka akal kemungkinan pun akan lenyap. Akal yang dimiliki seseorang sifatnya tidak abadi, yang abadi adalah akal yang esa dan universal, sesuatu yang menjadi sumber dan tempat kembalinya akal masing-masing manusia.

pengakuan Ibn Rusyd tentang akal yang bersatu dimaksudkan sebagai pengakuannya atas roh (jiwa) manusia yang bersatu, sebab akal adalah mahkota terpenting dari wujud roh (jiwa) manusia. Dengan kata lain, akal itu di sini hanyalah sebagai wujud rohani yang membedakan jiwa (roh) manusia atau mengutamakannya lebih dari jiwa (roh) hewan dan tumbuh-tumbuhan. Itulah yang dimaksud dengan monopsikisme (bahan yang menjadikan segala jiwa). 

Maksud Ibn Rusyd roh universal itu adalah satu dan abadi (kekal)."


PENGETAHUAN AKAL MENURUT FILOSOF MUSLIM

1.    Al-Kindi

Menurut pandangan Al-Kindi akal yang selamanya dalam aktualitas. Akal pertama ini berada di luar jiwa manusia, diperole secara Ilahi, dan selamanya dalam aktualitas. Karena selalu berada dalam aktualitas, akal inilah yang membuat akal yang bersifat potensi dalam jiwa manusia menjadi aktual

Akal yang bersifat potensial, yakni akal murni yang ada dalam diri manusia yang masih merupakan potensi dan belum menerima bentuk-bentuk indrawi dan yang akali

Akal yang bersifat perolehan. Ini adalah akal yang telah keluar dari potensialitas ke dalam aktualitas, dan mulai memperlihatkan pemikiran abstraksinya. Akan perolehan ini dapat dicontohkan dengan kemampuan positif yang diperoleh orang dengan belajar, misalnya tentang bagaimana cara menulis. Penamaan perolehan, agaknya dimaksudkan oleh Al-Kindi untuk menunjukkan bahwa akal dalam bentuk ini diperoleh dari akal yang berada di luar jiwa Manusia, yakni akal pertama yang membuat akal potensial keluar menjadi akal aktualitas

Akal yang berada dalam keadaan aktual nyata, ketika ia aktual, maka ia disebutbakal “yang kedua”. Akal dalam bentuk ini merupakan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas. Ia dapat diibaratkan dengan proses penulisan kalau seorang sungguh-sungguh melakukan penulisan


2.    Al-Farabi

Menurut pandangan Al-Farabi untuk dapat berkomunikasi dengan Sang Pencipta menurut Al-Farabi seseorang harus mempunyai jiwa yang bersih, kesucian jiwa. Tidak hanya diperoleh melalui badan dan perbuatan-perbuatan badaniah semata-mata. Kesucian jiwa dapat diperoleh melalui kegiatan berpikir dan terus berpikir. Menurut Al-Farabi, filsafat dan moral sama-sama mengidealkan kebahagiaan bagi manusia. Kebahagiaan seseorang akan terwujud apabila jiwanya sudah sempurna. Salah satu indikasi kesempurnaan jiwa ialah apabila ia sudah tidak lagi berhajat kepada materi.

Al-Farabi adalah filosof muslim pertama yang secara teliti mengupas problem klasik warisan Aristoteles mengenai nalar. Dalam Risalah fi Al-Aql, Al-Farabi memuat enam istilah seputar nalar atau akal.

a.              Nalar yang oleh masyarakat awam dikenakan pada orang cerdik atau cerdas, yang  juga dipakai untuk mengukur “kemasuk akalan”.

b.             Nalar seperti yang dimaksud oleh para teolog ketika membenarkan atau menolak pendapat tertentu (kesepakatan umum).

c.              Nalar yang pernah disebut oleh Aristoteles Analytica Posteriora (arab: kitab Al Burhan) sebagai habitus. Melalui nalar ini, prinsip-prinsip pembuktian diketahui oleh manusia secara intuitif.

d.             Nalar yang diungkapkan oleh Aristoteles dalam Nicomachean Ethics-nya sebagai “nalar praktis pergumulan panjang manusia,  yang memberinya kesadaran tentang tindakan yang patut dipilih atau dihindarinya”.

e.              Nalar seperti yang dibahas Aristoteles dalam De Anima, yang dengan sendirinya mencakup empat bagian, yaitu:

1)         Nalar potensial (materiil) berperan mengabstraksi bentuk-bentuk materiil dari substratum materiil.

2)         Nalar aktual sebagai tempat bersemayamnya bentuk materil hasil abstraksi dari nalar potensial.

3)         Nalar mustafad, tempat yang mewadahi bentuk kawuruhan yang sudah terabstraksi (terbebaskan, terlepaskan) dari materi.

4)         Intelek aktif, yang tertinggi dari semua intelegensi, dapat diibaratkan sebagai perantara adikodrati yang memberdayakan nalar manusia agar dapat mengaktualisasikan pemahamannya. Intelek ini berfungsi bak matahari yang menerangi benda-benda ragawi agar benar-benar bisa dilihat.

f.              Nalar yang disebut oleh Aristoteles dalam Metaphysic, yaitu nalar, intelek, atau fikiran yang berfikir mengenai dirinya sendiri, dan inilah yang disebut Tuhan.[1][1]

 3.    Ibnu Sina

Menurut Ibnu Sina Jiwa manusia, yang disebut juga (القوة الناطقة), mempunyai dua daya: praktis (العاملة) dan teoretis (العالمة). Daya praktis hubungannya dengan hal-hal yang abstrak.

Daya teoretis ini mempunyai tingkatan sebagai berikut:

a)    Akal Materiil (العقل الهيولانى) yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit.

b)    Akal Al-malakat (العقل الملكة) yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal abstrak.

c)    Akal Aktual (العقل بالفعل) yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak.

d)   Akal Mustafad (العقل المستفاد), yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak tanpa perlu daya upaya. akal seperti inilah yang dapat berhubungan dan menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif.


4.    Al-Ghazali

Menurut Imam al-Ghazali dan al-Maawardi akal itu terbagi kepada dua:

1)    Akal Gharizi

Yaitu akal atau ilmu yang diperolehi secara semula jadi sejak anak-anak dalam masa menuju perkembangan.

2)    Akal Muktasab

Yaitu akal atau ilmu yang diperoleh dengan cara berusaha atau belajar dengan menggunakan pengalaman orang dahulu dan percobaan sendiri. Di samping itu kita perlu menyedari cara manusia memperoleh ilmu pengetahuan itu pula adalah berlainan antara satu golongan dengan golongan yang lain berdasarkan kurniaan Allah dan persiapan-persiapan yang disediakan Allah dalam diri manusia yang berkaitan, yaitu:

a)         Golongan Para Anbia Dan Rasul, mereka mempunyai sifat-sifat rohani dan jasmani yang sempurna di mana mereka memperoleh ilmu dengan cara wahyu atau berita dari Allah s.w.t.

b)        Golongan Auliya (para wali), mereka memperoleh ilmu dengan cara mendapat ilham atau laduni iaitu ilmu yang didapat tanpa belajar tetapi mestilah juga berusaha paling kurang mempunyai ilmu-ilmu asas sebagai persiapan; sebab ilham tidak akan datang merupai sesuatu ilmu baru, yang belum pernah dikenali asasnya.

c)         Golongan Ulamak dan Cendikiawan, mereka memperoleh ilmu adalah dengan cara biasa iaitu dengan cara belajar menggunakan pengalaman atau pengkajian orang lain dan juga percubaan sendiri.

Allah adalah sumber ilmu, manakala kitabNya pula sumber nur dan ilmu pengetahuan. Di dalam al-Quran Allah berfirman:

Allah mengurniakan hikmat (rahsia ilmu) kepada siapa yang dikehendakiNya; dan siapa yang dikaruniakan hikmat maka sungguh dia telah diberikan kebajikan yang banyak; dan tiadalah yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berfikir." (al Baqarah: 269)

 5.    Ibnu Rusyd

pengakuan Ibn Rusyd tentang akal yang bersatu dimaksudkan sebagai pengakuannya atas roh (jiwa) manusia yang bersatu, sebab akal adalah mahkota terpenting dari wujud roh (jiwa) manusia. Dengan kata lain, akal itu di sini hanyalah sebagai wujud rohani yang membedakan jiwa (roh) manusia atau mengutamakannya lebih dari jiwa (roh) hewan dan tumbuh-tumbuhan. Itulah yang dimaksud dengan monopsikisme (bahan yang menjadikan segala jiwa). Maksud Ibn Rusyd roh universal itu adalah satu dan abadi (kekal)."


Penjelasan mengenai akal universal dan akal reseptif tidak bisa lantas membuat kita langsung menyimpulkan bahwa Ibn Rusyd menolak kehidupan setelah kematian.Dalam filsafatnya, Ibn Rusyd juga berbicara mengenai kebangkitan jasmani. Ibn Rusyd menyangkal apa yang dikatakan oleh Al Ghazali bahwa filsuf-filsuf mengingkari kebangkitan jasmani.


Bentuk materi tidak pernah dapat dipisahkan dari materi karena bentuk fisik yang istilah lain dari bentuk materi bisa  maujud hanya dalam materi. Oleh sebab itu bentuk-bentuk tersebut bersifat sementara dan berubah-ubah. Mereka tidak kekal sebab mereka tidak memiliki supstansi kecuali dalam materi. Maka bentuk-bentuk terpisah itu merupakan sesuatu yang bukan bentuk-bentuk material. Karenanya, keterpisahan jiwa nasional, yaitu akal,hanya dapat ditunjukkan jika bisa dibuktikan bahwa akal merupakan bentuk murni. Jiwa tidak terpisah sebab ia merupakan bentuk dari wujud alamiah organik. Jiwa dibagi, menurut tindakan-tindakannya, kognitif dan apetitif, dan yang disebut terakhir ini tampaknya lebih sesuai kalau ditempatkan sesudah yang imajinatif dan yang sensitif.


Hirarki unsur-unsur itu bertumpu pada tatanan bentuk-bentuk material yang disebutkan di atas. Cara hewan mendapatkan pengetahuan yaitu lewat perasaan dan imajinasi, sedangkan cara manusia mendapatkan pengetahuan yaitu, selain lewat dua cara tersebut, lewat akal. Dengan demikian, jalan menuju pengetahuan yaitu lewat perasaan atau akal, yang membawa kepada pengetahuan mengenai hal-hal tertentu atau universal. Pengetahuan yang sebenarnya yakni pengetahuan mengenai hal-hal yang universal, kalau tidak maka binatang dapat dikatakan memiliki pengetahuan. Istilah pengetahuan diberlakukan secara kabur pada binatang, manusia,  dan Tuhan. Pengetahuan binatang terbatas pada perasaan dan imajinasi, sedangkan pengetahuan manusia bersifat universal. Jadi perasaan itu merupakan kondisi gambaran, dan setiap kewujudan yang memiliki gambaran tentu memiliki pula perasaan.tapi karena manusia memiliki unsur yang lebih tinggi, yaitu akal, maka ia dapat gambaran lewat pikiran dan nalar, sendangkan pada binatang, gambaran pada dasarnya ada secara alami.

Pengetahuan manuasia tidak boleh di kacaukan dengan pengetahuan tuhan, sebab manusia menserap individu lewat indera dan mencerap hal-hal yang wujud lewat akalnya. Sebab presepsi manusia berubah dikarenakan  berubahanya hal-hal yang diserapnya, dan kemajemukan persepsi mengisyaratkan kemajemukan objek. Mustahil bila pengetahuan kita merupakan akibat dari segala yang maujud, sedangkan pengetahuan tuhan merupakan sebab dari adanya segala suatu itu. Kedua macam pengetahuan itu sama sekali berbeda satu sama lain dan saling bertentangan. Pengetahuan yuhan itu kekal, sedangkan pengetahuan manusia itu sementara.tuhanlah yang  menyebabkan segala kemaujudan. Dan bukanlah segala kemaujudan itu yang menyebabkan dia tahu.



KETAHUI HUKUM AKAL UNTUK KENAL ALLAH


Sesungguhnya tiap-tiap seorang yang hendak mengenal ALLAH Taala dan mengetahui sifat-sifatNya maka wajiblah lebih dahulu ia mengetahui akan hukum akal dan bahagiannya, kerana ia jadi neraca bagi hendak menghukumkan sifat-sifat Tuhan yang diperintahkan mengenal itu. Sekalipun permulaan wajib atas tiap-tiap mukallaf mengenal Tuhan tetapi permulaan wajib untuk mengenal sifat-sifat Tuhan itu ialah mengetahui hukum-hukum akal.

Pengertian Hukum Akal

Hukum akal itu ialah menetapkan suatu perkara kepada suatu perkara yang lain atau menafikan suatu perkara daripada perkara yang lain dengan tidak berkehendak kepada dicuba pada menetapkan sesuatu perkara itu (bersalahan hukum ‘adi yakni adat) dan tidak tergantung kepada sesuatu perbuatan yang diperbuat oleh mukallaf (yang bersalahan hukum syarii).

Pengertian Akal

Adalah akal itu satu sifat yang dijadikan Tuhan pada manusia sehingga dengan dia terbeza manusia daripadahaiwan. Maka dengan dialah boleh menerima alam nazariah pengetahuan yang berkehendak fikir) dan boleh mentadbirkan segala-gala pekerjaan dengan fikiran yang halus-halus dan yang sulit-sulit dan daripadanya tempat terbit dan terpancar berbagai-bagai manfaat dan kebahagiaan bagi manusia. Tetapi kiranya akal itu bersendirian maka tidak akan dapat akal sejahtera, akal waras dan akal sihat melainkan berpandu kepada undang-undang syarak, demikian juga undang-undang syarak tidak boleh berjalan mengikut yang dikehendaki melainkan berhajat kepada akal. Walhasil antara kedua-duanya itu berlaziman dan berhajat antara satu dengan yang lain (akal berhajat kepada syarak dan syarak berhajat kepada akal).

Setiap mukallaf itu wajib mengenal ALLAH SWT. Ia merupakan perkara yang terawal sekali di dalam agama. Sebab itu dikatakan, Awaluddin makrifatulluh iaitu “Awalawal agama itu mengenal ALLAH”.

Cara Mengenal ALLAH SWT

Cara mengenal ALLAH SWT bukanlah dengan melihat dan sebagainya kerana ALLAH SWT itu Maha Suci daripada menyerupai segala yang baharu segala makhluk. ALLAH SWT tidak berbentuk, tidak berupa, tidak terjadi daripada jirim, tidak mengambil tempat atau ruang, serta tidak berpihak seperti tidak di atas, tidak di bawah dan tidak di mana-mana. Kerana itu, ALLAH SWT tidak dapat dilihat dengan mata kepala, tidak dapat dipegang dan tidak dapat dirasa. Jadi, kita tidak boleh mengenal ALLAH dengan cara itu.

Cara untuk mengenal ALLAH SWT ialah dengan mengetahui sifat-sifat-Nya. Dan apabila telah kita ketahui sifat-sifat ALLAH itu, dapatlah kita mengenal zat ALLAH SWT hingga dapat kita membezakan zat Khaliq (Tuhan) dengan zat makhluk. Dan cara hendak mengenal ALLAH melalui sifat-sifat-Nya itu ialah dengan menggunakan akal. Sebab itu, seorang mukallaf yang wajib mengenal ALLAH itu ialah seorang yang sudah berakal kerana akal fikiran penting untuk mengenal Tuhan dengan mengetahui sifat-sifat-Nya. Dengan akal itu nantilah kita akan dapat membezakan di antara sifat Tuhan dengan sifat makhluk. Dan oleh itu, seseorang itu tidak akan dapat mengetahui ALLAH dengan sebenar-sebenarnya kalau dia tidak mengetahui hukum akal. Jadi, wajiblah kita mengetahui hukum akal ini kerana ia ibarat neraca bagi membezakan antara zat ALLAH SWT dengan zat makhluk. Oleh itu, di sini kita akan membahas dan memperkatakan tentang akal, pengertian akal, serta hukum akal. Ia merupakan perkara yang amat penting dalam ilmu tauhid. Selain hukum akal, dalam ihnu tauhid juga terdapat dua jenis hukum lagi iaitu hukum adat dan hukum syarak. Kedudukan tiga jenis hukum ini berbeza-beza antara satu dengan yang lain.

Mengapa kita katakan wajib untuk mengetahui hukum akal itu?

Dalam syariat atau perundangan Islam, terdapat kaedah feqah atau qawa’idul fiqh yang menetapkan bahawa kalau perjalanan menuju ke satu-satu matlamat itu wajib, maka menempuh jalan-jalan yang membawa ke matlamat itu dikira wajib juga. Untuk memahaminya, kita perhatikan satu contoh. Bagi mendirikan sembahyang, kita wajib berwudhuk dengan air. Katakanlah kita berada di satu kampung yang tidak terdapat sumber air semulajadi seperti air perigi, air mata air, sungai, laut, dan sebagainya. Dan satu-satunya jalan yang mudah untuk mendapatkan air ialah dengan menggali perigi. Maka menggali perigi itu hukumnya wajib. Inilah yang dimaksudkan dengan kaedah feqah tadi: B&a satu-satu matlamat itu wajib, menempuh jalan-jalan untuk menuju ke matlamat itu juga wajib.

1. HUKUM AKAL

Dan begitulah dengan kaedah mengenal ALLAH SWT. Hukum mengenal ALLAH itu wajib, malah ia diletakkan pada tempat yang pertama dan utama dalam ajaran Islam. Seseorang itu tidak akan dapat mengenal ALLAH dengan setepat-tepatnya kalau dia tidak mengetahui hukum akal. Dengan mengetahui hukum akal, ia menjadi sebab untuk kita mengenal ALLAH SWT. Oleh itu, mengetahui hukum akal itu wajib.

Apakah takrif hukum akal Hukum akal ialah menetapkan sesuatu perkara kepada suatu perkara yang lain, atau menafikan suatu perkara daripada perkara yang lain. Dan dalam menetapkan sesuatu hukum itu, ia tidak berkehendakkan kepada dicuba. Misalnya, dua campur dua, empat. Dalam hal ini, akal menetapkan dua campur dua itu sama dengan empat. Begitu jugalah dalam hal-hal lain yang seumpama ini. Akallah yang menetapkan satu-satu hukum itu, bukan adat dan bukan juga syarak. Apabila hukum itu ditetapkan oleh syarak, ia ber-sumberkan Al Quran dan hadis. Tetapi dalam hal-hal seperti tadi, akal saja yang menetapkannya.

Satu contoh yang lain ialah, seorang anak itu tidak boleh menjadi lebih tua daripada ayahnya dalam masa yang sama. Atau dengan kata-kata lain, seorang anak itu tidak boleh lebih dahulu daripada ayahnya. Hukum seperti ini hanya ditetapkan oleh akal. Akal kita mengatakan bahawa seorang ayah itu pasti lebih tua daripada anaknya.

Contoh lain, setiap jirim ataupun benda mempunyai sifat-sifat yang mendatang, termasuk sifat-sifat yang berlawanan antara satu dengan yang lain. Umpamanya sifat gerak dan sifat diam. Setiap benda atau jirim boleh bergerak atau digerakkan, dan boleh diam atau didiamkan.

Tangan kita misalnya, adalah satu jirim atau benda, dan ia boleh bergerak dan boleh diam. Sifat gerak dan diam itu dua sifat yang berlawanan. Menurut hukum yang telah ditetapkan oleh akal, dua sifat yang berlawanan ini tidak boleh terjadi serentak dalam satu ketika. Ertinya, tangan kita ini tidak boleh bergerak dan diam dalam satu masa yang sama.

Kita boleh gerakkan tangan kita dan kita boleh diamkan ia. Boleh jadi selepas kita gerakkan, kita diamkan ia, atau selepas ia diam kita gerakkan. Untuk kita gerakkan dan kita diamkan tangan kita serentak, tentu tidak boleh. Begitu juga diri kita ini, tak boleh kita lakukan gerak dan diam serentak. Contoh sifat berlawanan yang lain ialah malam dan siang. Mana boleh malam dan siang itu berlaku dalam masa yang sama. Ia belum pernah terjadi. ‘Dan begitulah seterusnya dengan sifat-sifat berlawanan yang lain. Tidak akan berlaku sifat-sifat berlawanan itu serentak dalam satu jirim. Yang boleh berlaku ialah secara bergilir-gilir. Di antara gerak dan diam misalnya, boleh jadi gerak berlaku dahuiu kemudian baru diam, atau boleh jadi diam berlaku dahulu kemudian baru gerak. Begitu juga antara siang dengan malam boleh jadi siang berlaku dahulu, kemudian baru malam, atau malam dahulu kemudian baru siang. Semua ini, akal yang menetapkannya, bukan adat dan bukan syarak. Ini yang dikatakan hukum akal.

Untuk lebih jelas, kita turunkan satu contoh lagi. Akal telah menetapkan bahawa dua atau tiga dan sebagainya lebih banyak daripada satu. Dan satu itu kurang daripada dua atau tiga, dan sebagainya. Akal telah menetapkan demikiari dan sekali-kali akal tidak boleh menerima yang satu itu lebih daripada dua atau tiga dan sebagainya.

Kemudian, hukum akal ini tidak perlu dicuba-cuba. Umpamanya, hukum akal yang menetapkan bahawa ayah itu lebih tua daripada anak, tidak perlu dicubacuba seperti kita banding-bandingkan antara anak dan ayah. Tak perlu dibuat demikian kerana secara spontan akal menerima bahawa anak itu lebih muda daripada ayah, atau ayah itu lebih tua daripada anak. Jadi, hukum akal yang menetapkan bahawa ayah itu lebih tua daripada anak tak perlu dicuba-cuba.

Hukum Adat

Yang berkehendak kepada dicuba-cuba ialah hukum adat. Setelah dicuba-cuba ratusan kali, ribuan kali dan sebagainya, begitu juga yang terjadi. Dan setelah diperhati-hatikan begitu yang terjadi. Seperti misalnya, api itu membakar. Dari dahulu hinggalah sekarang, api itu kita dapati tetap membakar. Sudah begitu adatnya. Tidak pernah kita lihat yang api tidak membakar. Dan yang menetapkan api itu membakar bukan akal tetapi adat. Bukan juga syarak.

Kita tidak jumpa di dalam Quran dan hadis, nas yang mengatakan bahawa api w.ajib membakar. Syarak tidak mengatakan demikian. Apa yang kita dapati di dalam syariat, tiap suatu yang ada ini tidak boleh memberi bekas melainkan ALLAH SWT. Sebab itu, dari segi syariat, api tidak boleh memberi kesan bakar kalau tidak dengan izin ALLAH SWT. Jadi, dari segi syariat, bukan api itu yang menyebabkan terbakar. Ia hanya menjadi sebab sahaja. Iaitu, sebab terbakar itu kerana api. Sudah demikian ALLAH hendak jadikan sesuatu itu; mesti ada sebabsebabnya.

Tetapi, pada adat, api itu pasti membakar. Sudah puluhan malah ribuan tahun dapat disaksikan bahawa api itu pasti membakar. Yang menetapkan ini ialah adat, bukan akal dan bukan juga syariat. Kalaulah akal yang menetapkan api itu pasti membakar, tentu ia dapat disalahkan kerana di dalam sejarah, kita telah saksikan bahawa Nabi Ibrahim yang dilontarkan ke dalam api yang panas membara yang disediakan oleh Namrud dan rakyatnya, tidak pun hangus. Malah, yang dirasakan oleh Nabi Ibrahim adalah sejuk dan dingin sahaja. Jadi, tidak tepatlah kalau akal mengatakan yang setiap api itu membakar. Lebih-lebih lagi pada zaman ini, kita dapat saksikan ada orang boleh berjalan di atas api, seperti dilakukan oleh orang-orang beragama hindu dan buddha. Ertinya, kita dapat saksikan bahawa api itu tidak membakar dalam dua keadaan. Pertama, dalam riwayat Nabi Ibrahim a.s., api tidak membakarnya dengan kekuasaan ALLAH SWT sebagai limpahan rahmat-Nya ke atas baginda. Kedua, orang-orang beragama hindu dan buddha dapat berjalan di atas api yang tidak membakar, secara istidraj atau secara penipuan daripada syaitan.

Dengan ini menunjukkan bukan api yang memberi bekas tetapi adat telah menghukum atau menetapkan yang setiap api itu membakar. Sebab, sudah ribuan tahun diperhatikan demikian, serta sudah menjadi kebiasaan dan pengalaman manusia, setiap api itu membakar. Dalam hal ini, adat yang menghukumnya. Jadi, kembali kita kepada penetapan hukum daripada akal tadi, ia tidak perlu dicuba-cuba. Akal menetapkan sesuatu itu berlaku bukan hasil daripada pengalaman atau kajian manusia, tetapi secara spontan. Kemudian, apa yang dapat kita fahamkan lagi daripada hukum akal ini ialah, tidak ada hubungan di antara hukum yang telah ditetapkan oleh akal dengan perbuatan seseorang mukallaf. Yang menetapkan sesuatu perkara itu ada hubungan dengan perbuatan mukallaf ialah syarak. Misalnya, apabila seorang mukallaf hendak makan, kita dapat perhatikan bagaimana syariat menetapkannya. Dalam hal berpakaian juga, syarak menetapkan hukum-hukumnya. Begitu juga dalam perbuatan bergaul, syarak ada menetapkan hukum-hukumnya. Jadi, kalau sesuatu hukum itu ada hubungannya dengan perbuatan mukallaf, ia bukan ditetapkan oleh akal atau adat, tetapi oleh syarak. Sebab, syariat atau undang-undang daripada ALLAH yang disampaikan kepada Rasulullah SAW itu, merangkumi segala perbuatan yang berlaku kepada mukallaf. Ia mengatur seluruh perbuatan mukallaf, daripada perbuatan yang kecil hinggalah kepada perbuatan yang sebesar-besarnya. Hatta perbuatan gerak hati seseorang itu pun diatur oleh syariat.

Keistimewaan Akal

Seterusnya, yang perlu kita ketahui tentang hukum akal ialah bahawa akal itu satu sifat yang ALLAH SWT jadikan pada manusia. Ia ALLAH letakkan pada otak manusia dengan segala ciri yang istimewa. Dengan ada
nya sifat ini, terbezalah manusia itu daripada makhluk makhluk lain seperti haiwan. Dalam ertikata yang lain,
dengan adanya akal, termulialah manusia ini dibanding kan dengan makhluk lain di muka bumi Tuhan ini.
Di antara yang menjadikan istimewa dan mulianya kehidupan manusia ini dibandingkan dengan haiwan ialah, dengan adanya akal, manusia boleh membangunkan kemajuan dan boleh melahirkan kehidupan yang bertamadun. Haiwan yang tidak dibekalkan oleh ALLAH SWT dengan akal, tidak boleh meningkatkan cara hidupnya. Sebab itulah haiwan tidak mempunyai kebudayaan. Cara hidup haiwan adalah mengikut tabiat semula jadinya, sejak ia mula dicipta oleh Allah. Cuma kita tidak mengetahuinya kerana tidak ada diceritakan di dalam kitab-kitab. Dan kita juga tidak tahu bila ia bermula. Bagi manusia, kita tahu ia bermula daripada Nabi Adam as.

Cara hidup haiwan bermula sejak ia dijadikan. Misalnya, bagaimana kehidupan datuk nenek ayam itik yang mula-mula dahulu, begitulah kehidupan seluruh ayam ataupun itik yang ada hari ini; tidak berubah-ubah dan tidak meningkat-ningkat. Ayam itik tidak boleh membuat perubahan hidup kerana ia tidak berakal. Kalau ayam itu tidak dibuatkan rumah atau reban oleh tuannya, tidak berumah atau berebanlah hidupnya. Dan begitulah juga dengan haiwan-haiwan lain. Berbeza halnya dengan manusia. Dengan adanya akal, manusia boleh berkebudayaan dan bertamadun. Manusia boleh membuat perubahan dan peningkatan hidupnya dari satu masa ke satu masa. Jadi, akal begitu berperanan sekali kepada manusia, malah mempunyai peranan yang cukup utama yang meletakkan kemuliaan manusia itu sendiri. Sebab itu, Allah mengingatkan kita di dalam Al Quran tentang peranan akal.

Firman Allah: Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezeki daripada yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna ke atas kebanyakan makhluk yang teluh Kami ciptakan. (Al Israk: 70)

Di dalam ayat di atas, Allah menyatakan kepada kita betapa Allah telah memuliakan anak cucu Nabi Adam iaitu manusia, yang diberi kelebihan-kelebihan berbanding dengan makhluk lain ciptaan ALLAH. Manusia telah dibekalkan oleh ALLAH SWT dengan akal hingga ALLAH menyerahkan daratan dan lautan untuk dikuasai oleh mereka. Dengan akal, manusia telah dapat membongkar segala khazanah di dalam lautan, daripada ikannya, mutiaranya, beliannya, hinggalah kepada minyak galiannya dan bermacam-macam khazanah lagi. Malah manusia juga telah dapat menggunakan laut untuk memudahkan kehidupan. Misalnya, manusia telah menghasilkan kapal yang bergerak di permukaan laut, dan kapal selam yang boleh bergerak di dalam laut seperti ikan.

Akal fikiran yang ada pada manusia seterusnya telah membolehkan manusia menguasai angkasa lepas. Ertinya, bukan saja lautan, malah daratan ‘dan seluruhnya juga telah Allah serahkan kepada manusia. Dengan penguasaan manusia di bidang angkasa lepas, hari ini sudah ada manusia yang sampai ke bulan. Semua keupayaan dan kemampuan ini bukan disebabkan oleh kekuatan Iizikal atau kekuatan lahir manusia, tetapi disebabkan kekuatan tenaga berfikir. Ini ternyata sekali berlaku di kalangan manusia di Barat sana.

Orang-orang Barat mengasah sungguh-sungguh tenaga fikir mereka hingga membolehkan mereka mencipta berbagai-bagai perkara seperti radio, televisyen, kapal terbang, kapal angkasa dan lain-lain. Mereka tumpukan sungguh-sungguh kepada penggunaan akal fikiran mereka hinggakan kita dapati mereka tidak sempat untuk memikir fasal Tuhan. Setiap saat mereka berfikir dengan akal hingga mereka lupa kepada Maha Pencipta, yang memberi mereka akal itu. Ini yang malangnya. Jika dibandingkan dengan umat Islam, walaupun kita tidak mengasah sungguh-sungguh kekuatan akal fikiran ini, tetapi tidaklah sampai kita melupakan Tuhan. Tidaklah sampai kita kufur, ingkar dan berbuat mungkar. Sedangkan mereka terus khayal dengan kekuatan akal fikiran mereka hingga mereka kufur dan ingkar kepada ALLAH SWT.Cuma, oleh kerana mereka tumpukan sungguh-sungguh kepada akal fikiran mereka itu, mereka lebih maju daripada kita.


Apakah umat Islam mahu rnengejar dunia seperti mereka?

Kalau mahu, caranya amat mudah sekali. Buatlah seperti yang mereka buat iaitu asah sungguh-sungguh akal fikiran kita dan lupakan terus ALLAH SWT. Tapi ingat, Neraka ALLAH akan menanti kita. Sebab itulah, ALLAH juga mengingatkan kita dalam Al Quran, supaya kita jangan berkecil hati dengan Allah atau terpengaruh dengan orang-orang bukan Islam itu. Firman ALLAH: Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. (At Taubah: 85)

Dalam ayat ini, kita dapat fahamkan bahawa ALLAH memang sengaja melebihkan orang-orang kafir itu dari segi kemajuan fizikal, dengan tujuan untuk menguji umat Islam sejauh mana mereka boleh mengingati ALLAH serta mengikut perintah-Nya. Tetapi kalau umat Islam tidak tahan diuji, dia akan terpesona melihat serba majunya perniagaan, ekonomi, perdagangan dan lain-lainnya pada orang-orang kafir. Dia akan berlumba-lumba dengan orang kafir untuk mencapai segala kemajuan yang mereka capai. Andainya mereka maju dalam bidang sains dan teknologi, umat Islam pun mengejar kemajuan itu; konon mahu seganding dengan orang kafir. Akhirnya, umat Islam pun melupakan ALLAH sebagaimana orang-orang kafir melupakan ALLAH.

Umat Islam Boleh Buru Kemajuan?

Oleh itu, umat Islam‘boleh mencari kemajuan walau dalam bidang apa sekalipun, tetapi jangan sampai lupa kepada ALLAH SWT. Carilah ilmu pengetahuan, kekayaan dunia, kemajuan ekonomi dan sebagainya; tapi jangan sampai meninggalkan sembahyang, mengabaikan ilmu fardhu ain, tidak menutup aurat dan sebagai nya. Tidak salah berfikir fasal dunia, asalkan tidak melupakan ALLAH. Ertinya, di samping memikirkan dunia, umat Islam tidak harus melupakan ALLAH. Oleh itu, tentulah tidak sama pencapaiannya dengan orang-orang kafir yang menumpukan sepenuh usaha dan ikhtiar kepada dunia. Dan kerana itu juga, janganlah umat Islam berkecil hati dengan ALLAH kerana sudah demikian janji ALLAH. Jadi, umat Islam tidak boleh meniru kemajuan orang-orang kafir. Cukuplah kita mencapai sekadar yang boleh kita capai mengikut kemampuan dan keupayaan kita, asal kita boleh hidup, boleh beribadah kepada ALLAH, boleh selamatkan iman, dan boleh mengelakkan kemungkaran dan maksiat.

Kalau umat Islam hendak berusaha juga sehingga mencapai kemajuan sepertimana yang dicapai oleh orang-orang kafir itu, ertinya umat Islam hendak lari daripada mengingati ALLAH; itu yang sebenarnya. Dan akibat daripada itu, ALLAH sediakan azab di Neraka, kerana orang-orang kafir itu tidak pernah memikirkan kehidupan Akhirat. Cuba kita lihat apa firman ALLAH mengenai mereka.

Firman ALLAH: Kami telah masukkan kebanyakan jin dan manusia ke dalam Neraka Jahanam itu, yang
mana mereka itu ada hati tetapi tidak muhu mema hami, ada mata tetapi tidak mahu melihat dan ada
telinga tetapi tidak muhu mendengar. Maka mereka itu sama seperti binatang-binatang ternakan, bahkan
lebih sesat daripada itu.
(Al A’rti 179)

Di sini jelas ALLAH. menggambarkan kepada kita betapa kebanyakan manusia dan jin, ALLAH masukkan ke dalam Neraka Jahanam kerana mereka ada mata tetapi tidak melihat kebenaran, ada akal tetapi tidak digunakan untuk memikirkan kebenaran dan ada telinga tetapi tidak digunakan untuk mendengar kebenaran. Taraf mereka sama seperti binatang-binatang ternakan. Mengapa ALLAH menyamakan mereka dengan binatang ternakan seperti ayam, itik, kambing, kerbau, lembu dan sebagainya. Mengapa ALLAH tidak menyebut binatang sahaja?

Semua binatang, sama ada liar ataupun diternak, sama-sama tidak ada akal. Tetapi binatang liar lebih merdeka atau lebih bebas berbuat sekehendak hati mereka. Misalnya, binatang liar bebas mencari makanan sendiri, tidak seperti binatang ternak yang terpaksa bergantung kepada tuannya. Kalau tuannya tidak memberi dia makan, tidak makanlah dia. Jadi, di antara keduadua jenis binatang ini, kehidupan binatang liar lebih baik kerana mereka ada kebebasan. Kalau ALLAH ibaratkan orang-orang yang ingkar atau orang-orang kafir itu seperti binatang ternakan, maknanya mereka langsung tidak ada kebebasan.

Tidak bebasnya mereka itu kerana, mata mereka tidak boleh melihat, akal mereka tidak boleh berfikir, dan telinga mereka tidak boleh mendengar. Ertinya, keadaan mereka terkongkong sama sekali. Mereka langsung tidak mendapat kebenaran; tidak boleh melihat yang mana salah, yang mana benar, tidak boleh memikirkan yang mana salah, yang mana benar, dan tidak boleh mendengar yang mana salah dan yang mana benar. Mereka dikongkong oleh hawa nafsu. Dengan kata lain, mereka menjadikan diri mereka hamba kepada hawa nafsu hingga menyebabkan mereka berpaut semata-mata kepada hawa nafsu itu, tidak kepada ALLAH SWT. Jadi, padan benarlah kalau ALLAH samakan mereka itu dengan binatang ternak kerana binatang ternak terpaksa bergantung kepada tuannya, tidak bebas mengikut sekehendak hati.

Mengapa lebih sesat daripada binatang?

Sudahlah disamakan dengan binatang ternak, mereka disebut pula oleh ALLAH sebagai lebih sesat dari
pada binatang. Mengapa? Sebabnya, binatang itu oleh kerana tidak ada akal, tidak dapat dipimpin kepadakebaikan. Yang ada pada binatang hanya nafsu. Oleh itu, apa yang dilakukan oleh mereka kejahatan sahaja. Ertinya, unsur-unsur kebaikan langsung tidak ada pada binatang-binatang. Tetapi unsur kejahatan ada pada mereka kerana mereka ada nafsu. Sebab itulah binatang hanya terdorong untuk buat jahat. Tidak ada sesuatu yang boleh mengawal binatang, disebabkan ia tidak ada akal. Kalau ia ada akal, syariatlah yang boleh mengawalnya.

Cuma, walaupun binatang hanya tahu berbuat jahat, perbuatan mereka masih terbatas. Umpamanya, kalau seekor tikus itu mencuri padi, ia tidak membawanya balik. Ia makan di tempat itu sampai kenyang. Lepas itu, baru dia balik. Begitu juga kalau kambing masuk ke kebun orang, ia makan sampai kenyang di situ juga. Bila sudah kenyang, baru ia balik. Tidak ada satu benda pun yang dibawa lari dari kebun orang itu. Begitu juga kalau binatang-binatang bergaduh, mereka tidak bermesyuarat, berbincang dan mengatur strategi bagaimana hendak bergaduh. Selain itu, bila binatang bergaduh, dia tidak ‘tahu hendak membela diri dengan meminta bantuan binatang-binatang lain. Binatang yang bergaduh itu saja yang terlibat. Yang lain, buat tak tahu saja. Tidak seperti manusia, kalau bergaduh, dia mengatur strategi. Kemudian dia mengajak orang lain berpakat bagaimana hendak mengalahkan musuhnya. Ertinya, di kalangan manusia, daripada seorang saja yang bergaduh, berpuluh-puluh malah ribuan orang lain terlibat sama. Satu negara boleh turut berperang kalau dua pemimpin negara bergaduh dan berse.lisih faham. Jadi, banyaklah kerosakan yang dibuat oleh manusia. Sebab itulah, manusia yang tidak menggunakan akal dan telinga, lebih sesat dan lebih berbahaya lagi daripada binatang-binatang ternak.

Akal Dorong Nafsu Buat Maksiat?

Oleh kerana manusia ini ada akal di samping ada nafsu yang mendorong dia berbuat maksiat, kemudian akal tidak pula digunakan untuk menerima kebenaran, maka akal membantu lagi nafsu itu mendorong dia berbuat maksiat. Ertinya, manusia lebih cepat lagi berbuat maksiat daripada binatang yang hanya mempunyai nafsu tetapi tidak mempunyai akal itu. Bagaimana akal membantu nafsu mendorong manusia membuat kejahatan? Tentulah dengan cara merancang atau mengatur bagaimana hendak melakukan kejahatan itu dan sebagainya. Jadi, munasabah benarlah ALLAH menyebut bahawa manusia yang mempunyai nafsu demikian lebih sesat lagi daripada binatang ternak. Sebaliknya, kalau manusia boleh menggunakan akalnya sungguh-sungguh disebabkan akal manusia itu sifat semulajadinya memang baik, dan kalaulah kebaikan itu dipandu oleh syariat, kadang-kadang seseorang itu boleh mencapai taraf malaikat. Darjat dan kerohaniannya boleh sampai kepada tahap malaikat. Itulah yang berlaku kepada para rasul, para anbia dan para aulia besar.

Peranan Akal

Begitulah peranan akal yang jika digunakan sungguh-sungguh, membolehkan manusia mendapat manfaat daripadanya. Dia boleh menjadi lebih mulia daripada makhluk yang lain. Di samping itu, manusialah yang boleh menerima pengetahuan-pengetahuan yang memerlukan kepada berfikir, Ilmu-ilmu itu, kalau tidak difikirkan, tidak akan dapat diperolehi. Tetapi oleh kerana manusia ada akal, dia boleh memikirkan ilmu-ilmu pengetahuan itu. Kerana itu, hari ini bermacam-macam ilmu pengetahuan yang telah diperolehi manusia seperti ilmu alam, ilmu hisab, ilmu sains dan teknologi, ilmu kajibumi, ilmu psikologi, dan bermacam-macam ilmu pengetahuan lain. Kalau tidak ada akal, manusia tidak mungkin memperolehi semua ilmu itu.

Kemudian, dengan akal itu pula manusia boleh memikirkan kerja-kerja yang sulit dan yang halus. Apa saja pekerjaan dapat ditadbir dan disusun oleh manusia dengan sebaik-baiknya. Jadi, kita dapati, daripada akal itu terbitnya segala manfaat dan kebajikan yang semua itu akan memberikan kebahagiaan kepada manusia. Walau bagaimanapun, syaratnya manusia mestilah dapat menggunakan akalnya itu dengan sebaik-baiknya dengan dipandu oleh syariat. Kalau tidak, disebabkan oleh akal, manusia boleh rosak binasa. Samalah seperti peranan senjata api, ia boleh memberi manfaat kepada kita dengan syarat kita pandai menggunakannya. Misalnya, kalau datang musuh, perompak dan sebagainya, kita boleh mempertahankan diri dengan senjata api. Tetapi kalau kita tidak pandai menggunakannya, ia boleh merosakkan kita. Setengahsetengah orang membunuh diri dengan senjata apinya sendiri. Begitulah dengan akal, kalau manusia menyalah-gunakannya, rosaklah muka bumi ini, dan binasalah kehidupan manusia seluruhnya. Wujudlah huru-hara di atas bumi ALLAH ini, dan akan terjadilah sebagaimana yang ALLAH gambarkan: Akan lahirlah kerosakan di daratan dan di lautan akibat daripada usaha manusia itu sendiri (Ar Rum: 41)

Sifat Semulajadi Akal

Kemudian, walaupun akal itu sifat semulajadinya ALLAH jadikan baik, tetapi ada juga kebaikan-kebaikan yang tidak mampu difikirkan oleh akal. Dalam hal ini, Allah bantu kekuatan akal itu dengan memberi syariat kepada manusia melalui para rasul. Kalau hanya dengan kekuatan akal saja, manusia tidak dapat membezakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang halal dan mana yang haram, mana yang sah dan mana yang batal, dan sebagainya. Ia perlu kepada satu kekuatan lain iaitu kekuatan syariat. Akal mesti disuluh oleh syariat. Barulah ia dapat me‘mandu manusia kepada kesejahteraan dan keselamatan di dunia dan juga di Akhirat.

Kalau akal dibiarkan bersendiri, tanpa dibimbing oleh syariat, ia akan sesat. Akal ini akan mengeluarkan peraturan bagi manusia. Dari situlah timbulnya ideologi atau isme yang ada pada hari ini seperti komunisme, kapitalisme, sosialisme, dan sebagainya. Ideologi atau isme-isme ini akhirnya bertindak sebagai ‘syariat’ kepada manusia di seluruh dunia, dan manusia mengenepikan syariat yang sebenar daripada ALLAH SWT. Maka. rosaklah alam, rosaklah muka bumi Tuhan ini. Buktinya, hari ini saja, manusia tidak pernah hidup aman damai kerana kehidupan mereka dikawal oleh isme-isme yang lahir daripada otak manusia. Di manamana saja sudah tercetus pergaduhan dan peperangan. Tidak ada siapa pun boleh menyelesaikannya, hatta tempat rujuk semua negara sekalipun iaitu Pertubuhan Bangsa-bangsa Bersatu. Kadang-kadang merujukkan kehidupan manusia kepada pertubuhan itu, umpama kita berhakim kepada beruk. Jadi, walaupun tabiat semulajadi akal kita ini baik, ia masih perlu dipimpin oleh syariat supaya apa yang lahir daripada akal itu benar-benar dapat memimpin manusia kepada keselesaan hidup di dunia dan keselamatan hidup di Akhirat.

Akal tidak boleh dibiarkan bersendirian kerana tidak semua kebaikan mampu difikirkannya. Sejarah ahli-ahli falsafah atau ahli-ahli fikir zaman dahulu membuktikan hal ini. Soctrates, Plato dan lain-lainnya, terbukti tidak mampu memikirkan perkara-perkara yang lebih halus dan rumit dalam hal-hal kebenaran. Ini kerana kebenaran itu hanya datang daripada ALLAH. ALLAH sendiri yang mendatangkannya kepada manusia melalui rasul-rasul-Nya.