Catatan Popular

Selasa, 19 Julai 2016

KITAB QOTRUL GHAITS PERMASALAHAN II : BAGAIMANA IMAN TERHADAP ALLAH

OLEH IMAM NAWAWI AL BANTANI

PERMASALAHAN II BAGAIMANA IMAN TERHADAP ALLAH?

Jika ditanyakan kepadamu: “Bagaimana kamu beriman terhadap Allah ?”
Maka hendaklah kamu berkata: Sesungguhnya Allah itu Dzat yang esa, yaitu yang sendiri pada sifat-sifat dan dzat-Nya tidak ada yang menyekutui-Nya, Dzat yang maha hidup dengan kehidupan yang qadim yang ada pada dzat-Nya bukan dengan nyawa, Dzat yang maha tahu dengan pengetahuan yang qadim yang ada pada dzat-Nya, yang mengetahui benar terhadap yang wajib, jaiz dan yang mustahil, 

Dzat yang maha kuasa dengan kekuasaan yang qadim yang ada pada dzat-Nya, bukan dengan penelitian juga bukan dengan perantara, yang mana ajzu (ketidak berdayaan) tidak akan terjadi pada kekuasaan-Nya yang mencakup terhadap semua sesuatu yang mumkin, Dzat yang maha berkehendak dengan kehendak yang qadim yang ada pada dzat-Nya yang mencakup terhadap semua sesuatu yang mumkin, Dzat yang maha mendengar yang mengetahui semua yang didengar dengan pendengaran yang qadim yang ada pada dzat-Nya, Dzat yang maha melihat, yang mengetahui terhadap semua yang dilihat ketika adanya sesuatu tersebut dengan penglihatan yang qadim yang ada pada dzat-Nya, Dzat yang maha berfirman dengan firman yang qadim yang ada pada dzat-Nya tanpa huruf dan tanpa suara, maka ‘adam (ketiadaan) tidak mengawali dan tidak akan terjadi pada kalam (firman) Allah yang berhubungan dengan yang wajib, seperti firman Allah swt.:

“Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku”
Dengan yang mustahil, seperti firman Allah:
“Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”.
dan dengan yang jaiz, seperti firman Allah:

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”
Menurut pendapat yang shahih, madlulul al-fadh (yang ditunjukkan oleh lafadh-lafadh) yang kita baca semuanya berhubungan dengan kalam Allah yang qadim, seperti yang telah dikatakan oleh Ibnu Qasim dan mufakat sekelompok Ulama’ Mutaakhkhirin.

Apabila kamu ditanya tentang Al-Quran, apakah ia qadim atau hadits ? Maka sebaiknya kamu meminta penjelasan terlebih dahulu kepada orang yang bertanya, apabila ia berkata padamu, bahwa yang saya maksud adalah yang ada pada dzat Allah yang mana apa yang ada pada kita semua telah menunjukkannya, maka katakanlah, ia qadim disebabkan sifat qidamnya Dzat, karena qidam adalah termasuk dari sebagian sifat-sifat yang wajib bagi Allah. Dan apabila ia berkata, bahwa yang saya maksud adalah sesuatu yang berada di antara dua buah pinggir, yaitu yang berupa tulisan-tulisan, maka katakanlah padanya, bahwa ia hadits disebabkan sifat hudutsnya tulisan-tulisan.

Demikian juga tentang lafadh-lafadh, maka apabila orang yang bertanya berkata padamu, bahwa yang saya maksud adalah ditinjau dari segi madlul (yang ditunjukkan), maka katakanlah, bahwasanya sesuatu (lafadh) yang menunjukkan terhadap dzat Allah, suatu sifat dari beberapa sifat-Nya atau suatu hikayat milik-Nya adalah qadim. Dan sesuatu yang menunjukkan terhadap benda-benda yang baru (hawadits) atau sifat-sifatnya, misalnya dzat-dzat makhluk atau sifat-sifatnya, seperti kebodohan dan pengetahuan kita, semua itu adalah hadits (baru), begitu juga dengan hikayat-hikayat hawadits.
Lafadh-lafadh tersebut dinamakan Kalamullah, karena ia-lah yang menunjukkan terhadap Kalamullah, dan sesungguhnya makna Kalamullah hanya akan dapat dipahami dengan melalui lafadh-lafadh tersebut.
Kalamullah, apabila diungkapkan dengan menggunakan bahasa arab maka dinamakan Al-Quran, apabila dengan bahasa Ibriyyah, yaitu bahasa orang yahudi, dinamakan Taurat, dan apabila dengan bahasa Suryaniyyah maka dinamakan Injil dan Zabur. Adapun perbedaan ibarat (ungkapan) tidaklah menjadi penentu terhadap adanya perbedaan kalam, sebagaimana Allah disebut dengan beberapa ibarot yang berbeda-beda, padahal sesungguhnya dzat Allah adalah esa.
Allah adalah Dzat yang maha kekal pada dzat-Nya yang agung yang kekal adanya, tidak akan menerima fana’ (rusak/binasa), Dzat yang maha memberi rizki yang menciptakan banyak-banyak rizki, atau Dzat yang banyak memberi rizki serta menyampaikannya pada para makhluk. Yang dinamakan rizki tidaklah hanya tertuju pada makanan dan minuman saja, akan tetapi pada setiap apa yang bisa diambil manfaatnya oleh semua hewan, yaitu yang berupa makanan, minuman, pakaian dan lain-lain. 

Termasuk dari nikmat yang paling agung adalah taufiq untuk bertaat. Rizki ada dua macam: Rizki yang bersifat dhahir, yaitu yang berupa makanan-makanan pokok dan makanan-makan lainya, itu semua milik badan, dan rizki yang bersifat bathin, yaitu yang berupa ilmu pengetahuan dan terbukanya pengetahuan terhadap Allah, itu semua milik hati dan asrar. Ketahuilah bahwasannya Allah memberikan rizki kepada semua makhluk-makhluk-Nya, dan diantara beberapa sebab dilapangkannya rizki adalah banyak bershalat.
Firman Allah:
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa”.
Banyak bershalawat pada nabi Muhammad saw. dan membaca istighfar.
Allah adalah Dzat yang maha disembah. Sebagian dari yang menunjukkan terhadap hal itu adalah perkataanmu: رَبَُّنَا اللهُ (“Tuhan kami hanyalah Allah”) Dzat yang yang maha memiliki.

Firman Allah:
“Tuhan langit dan bumi”
Tidak ada syabih (sekutu) yang serupa bagi-Nya dalam masalah ketuhanan, tidak ada nadhir (sekutu) yang menyerupai dan tidak ada mumatsil (sekutu) yang menyamai bagi-Nya. Adapun perbedaan antara kata syabih, nadhir dan mumatsil ialah:
Nadhir : Sesuatu yang menyamai walau hanya dalam satu sisi.
Syabih : Sesuatu yang menyamai dalam banyak sisi.
Mumatsil : Sesuatu yang menyamai dalam semua sisi.

Al-Barawi mengatakan, mambahas tentang dzat dan sifat-sifat Allah hukumnya tidak boleh لانَّ تَرْكَ الادْرَاكِ ادْرَاكٌ (meninggalkan untuk mengetahui adalah mengetahui) dan membahas masalah dzat Allah hukumnya syirik. Adapun semua sesuatu yang terbersit dihatimu, yaitu yang berupa sifat-sifat hawadits, maka sesungguhnya Allah tidaklah seperti itu.


FAIDATUN


Barang siapa meninggalkan empat kata, maka imannya sempurna, yaitu: dimana, bagaimana, kapan dan berapa. Maka jika ada seseorang berkata kepadamu: “Dimana Allah?” Jawabnya adalah: Allah tidak berada disuatu tempat, dan zaman (waktu) tidak mengiringi-Nya. Apabila ia berkata: “Bagaimana Allah?” Maka katakanlah padanya, tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan-Nya. Apabila ia berkata: “Kapan Allah?” Katakanlah, pertama tanpa ada permulaan, terakhir tanpa ada kesudahan. Dan apabila ia berkata: “Berapa Allah?” Maka katakanlah padanya, Allah esa (tunggal) bukan dari yang sedikit.

Firman Allah:

“Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa”.

Tiada ulasan: