Catatan Popular

Isnin, 11 Januari 2016

LANGSUNG DARI AL QURAN : UJURAN 1 CAHAYA ALLAH SEPERTI LUBANG HITAM:



Lubang Yang Tak Tembus

Istilah "lubang hitam" pertama kali dipopulerkan tahun 1969 oleh fisikawan Amerika John Wheeler. Awalnya, astronom beranggapan bahwa manusia dapat melihat semua bintang. Akan tetapi, belakangan diketahui bahwa ada bintang-bintang diruang angkasa yang cahayanya tidak dapat terlihat. Sebab, cahaya bintang-bintang yang runtuh ini lenyap. Cahaya tidak dapat meloloskan diri dari sebuah lubang hitam disebabkan lubang ini merupakan massa berkerapatan tinggi di dalam sebuah ruang yang kecil. (My Buku Kuning)


Allah berfirman:

Artinya: "Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi, perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar, pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dari pohon berkah yang berminyak, (yaitu) tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah baratnya, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api, cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu" (QS: 024: 35).

Lubang Yang Tak Tembus:

Ayat kajian ini tergolong cukup populer dikalangan ulama, bahkan mereka menamakannya dengan sebutan khusus "Ayat Al Musykat" (Lubang yang tak tembus). Para ulama - dahulu dan sekarang - telah mengkajinya secara berkesinambungan hingga telah meninggalkan kitab-kitab yang bermutu dibidangnya lebih dari cukup. Salah satu kitab yang populer dan merupakan pelopor dari karya-karya ilmiah pada ayat kajian ini adalah "Misykatul Anwar" karya Imam Abu Hamid Al Ghazali.

Oleh karena itu, maka sayang rasanya penulis melangkahi ayat ilmiah ini dan melewatkan pembaca begitu saja dari pengetahuan yang penting, walaupun hanya sebatas hasil kajian ilmiah sederhana saja. Dan khususnya kita sudah berada di dalam pangkuan ayat yang mulia, serta sekaligus mengawali tema tentang "An Nur" (cahaya) yang - nota bene - merupakan salah satu sifat dari sifat-sifat tingga Allah SWT, di mana akan mengambil porsi yang cukup signifikan pada kajian-kajian mendatang di dalam buku ini, Insya Allah.

Pakar tafsir dunia dan penulis (غرائب القرآن), Imam An Naisaburi menjelaskan ayat ini berkata: Kalimat "نُوْر" (nur), oleh sebagian ulama, sering disandingkan dengan kalimat "نَوَّرَ" (nawwara) - ditasydidkan huruf "wa" -, maka maknanya: "مُنَوِّرُ الْسَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ" (yang menerangi langit dan bumi). Lalu, apa makna hakikat kalimat "nur" (cahaya)?

Mayoritas ulama berpendapat bahwa cahaya yang dimaksud ayat adalah hidayah dan kebenaran, sebagaimana firman Allah: "Allah memberikan hidayah (iman) dengan cahayanya kepada yang Dia kehendaki", hidayah dan kebenaran disamakan dengan cahaya kerena terang dan transparannya. Lalu ditambahkan kepada langit dan bumi untuk menunjukkan atas wawasa sinar dan pancarannya yang luas menerangi seluruh kawasan langit dan bumi.
Kemudian ada pula yang mengatakan: "نُوْر" (nur) - ditasydidkan huruf "wa" -, "نَوَّرَ" (nawwara), yaitu langit: meliputi para malaikat dan benda-benda yang bersinar, sedangkan bumi: meliputi para nabi dan ulama-ulama pewaris nabi. Dan ada juga yang mengatakan: Nur cahaya adalah urusan penciptaan Allah terhadap langit dan bumi yang dikerjakannya dengan desain yang sangat sempurna. Pendapat terakhir ini dipilih oleh Al Asham dan Az Zujaj.


Misykatul Anwar Karya Al Ghazali:

Sebelum menjelaskan sisi ilmiah dari ayat kajian, penulis ingin menguraikan sedikit tentang pokok pemikiran Hujjatul Islam Imam Abu Hamid Al Ghazali dalam salah satu karya besarnya "Misykatul Anwar" tentang ayat al misykat, ayat kajian ini. Al Ghazali berkata:

"Sesungguhnya Allah SWT adalah nur (cahaya) dalam hakikat, bahkan tidak ada cahaya selain Dia". Penjelasannya: Bahwa manusia adalah "melihat", dia menjangkau dengan "penglihatan" cahaya nampak yang menerangi benda-benda bersinar yang memenuhi langit, dan penglihatan itu adalah kekuatan akal, yang lebih kuat dari pada yang melihat (mata)...

Setelah Al Ghazali memerincikan faktor-faktor kekuatan penglihatan dan kelemahan mata, ia mengatakan: Almisykat (lubang), azzujaj (cermin), almishbah (pelita), assyajaratu (pohon) dan azzait (minyak), kesemuanya itu adalah ibarat dari lima kekuatan (panca indra) bagi manusia:

Pertama: Kekuatan rasa (insting); yaitu ruh kebinatangan; terdapat pada bayi, dan seluruh jenis binatang. Dan padanannya yang paling tepat dari alam materi adalah "Almisykat" (lubang).

Kedua: Kekuatan imajinasi; yaitu keistimewaan indra manusia yang selalu beriringan akal. Maka padanannya pada ayat adalah "Azzujaj" (cermen), karena cermin itu tidak menutupi cahaya pelita (almishbah).

Ketiga: Kekuatan akal; yaitu mampu mencapai segala ilmu pengetahuan dan makrifah keyakinan, dan kekuatan ini sepadan dengan "Almishbah" (pelita), sebagaimana nabi SAW disebutkan di dalam Al Quran sebagai pelita.

Keempat: Kekuatan berpikir; yaitu yang mampu menganalisa teori dan hipotesa, maka kekuatan ini disepadankan dengan "Assyajarah" (pohon yang berbuah).

Kelima: Kekuatan spritual; yaitu kekuatan spritual para nabi, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api, cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis).

Cahaya Allah Seperti Lubang Hitam:

Jika kalimat "nur" (cahaya) disebutkan sebanyak 50 kali di dalam Al Quran, maka mayoritas penyebutan cahaya menunjukkan kepada pengertian definitif, meskipun sebagian ada pula yang menunjukkan makna indefinitif atau definitif dan indefinitif secara bersamaan. Pada ayat kajian dari surah An Nur ini Allah SWT menyerupakan cahaya Nya dengan sinar yang timbul dari "cermin" yang di dalamnya terdapat sumber sinar yaitu "pelita". Cermin itu adalah benda yang mempunyai sinar sendiri, tetapi ia dekat dengan sumber sinar yaitu pelita.

Ayat kajian menjelaskan bahwa pelita yang nampak berkilau seperti bintang pijar, setelah ditimpa cahaya atasnya dan memantul darinya, maka ayat mengillustrasikannya sebagai "cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis)", yaitu bukan hanya satu cahaya saja tapi cahaya yang di atasnya cahaya bersusun-susun, dan panjacaran dan kilauan yang didefinisikan oleh Allah pada permukaan bagian dalam pelita tersebut.

Sebagaimana cahaya serupa dapat terlihat juga pada batu-batu mulia yang bening berkilau tinggi seperti berlian yang diterpa sinar cahaya disekitarnya, maka pantulannya berlimpah dan menyebar keberbagai arah susul-menyusu, maka orang yang menyaksikannya sepintas seperti melihat kilauan yang timbul dari banyak sumber cahaya yang berbeda-beda. Maka demikianlah keadaan permukaan cermin yang berkilau disebabkan berlipat ganda pantulan-pantulan cahaya di dalamnya pada banyak titik sebelum memancarkan keluar. Selanjutnya cermin nampak seperti bintang berkilau karena berlimpah cahayanya.

Sifat-sifat cermin yang digambarkan pada ayat kajian sebagai benda yang berkilau kuat disebabkan berlipat gandanya pantulan-pantulan cahaya yang tertangkap di dalamnya, mirip sekali dengan salah satu gejala angkasa luar yang sangat fenomenal yang oleh fisikiawan disebut sebagai "Black Hole" (lubang hitam), yang oleh Al Quran disebutnya "Al Misykat" (lubang tak tembus).

Lubang Hitam (Black Holes): Adalah suatu fenomena alam ruang angkasa terbentuk ketika sebuah bintang yang telah menghabiskan seluruh bahan bakarnya ambruk hancur ke dalam dirinya sendiri, dan akhirnya berubah menjadi sebuah lubang hitam dengan kerapatan tak terhingga dan volume nol serta medan magnet yang amat kuat.

Manusia tidak mampu melihat lubang hitam dengan teleskop radio terbesar sekalipun, sebab tarikan gravitasi lubang hitam sedemikian kuatnya sehingga cahaya tidak mampu melepaskan diri darinya. Namun, bintang yang runtuh seperti itu dapat diketahui dari dampak yang ditimbulkannya diwilayah sekelilingnya. Tak ada sesuatu, termasuk radiasi elektromagnetik yang dapat lolos dari gravitasinya, bahkan cahaya hanya dapat masuk tetapi tidak dapat keluar atau melewatinya, dari sini diperoleh kata "hitam".

Istilah "lubang hitam" pertama kali dipopulerkan tahun 1969 oleh fisikawan Amerika John Wheeler. Awalnya, astronom beranggapan bahwa manusia dapat melihat semua bintang. Akan tetapi, belakangan diketahui bahwa ada bintang-bintang diruang angkasa yang cahayanya tidak dapat terlihat. Sebab, cahaya bintang-bintang yang runtuh ini lenyap. Cahaya tidak dapat meloloskan diri dari sebuah lubang hitam disebabkan lubang ini merupakan massa berkerapatan tinggi di dalam sebuah ruang yang kecil.

Gravitasi raksasanya bahkan mampu menangkap partikel-partikel tercepat, seperti foton (partikel cahaya). Misalnya, tahap akhir dari sebuah bintang biasa, yang berukuran tiga kali massa Matahari, berakhir setelah nyala apinya padam dan mengalami keruntuhannya sebagai sebuah lubang hitam bergaris tengah hanya 20 kilometer (12,5 mil).

Kesimpulan Kajian: Lubang hitam berwarna "hitam", yang berarti tertutup dari pengamatan langsung. Namun demikian, keberadaan lubang hitam ini diketahui secara tidak langsung, melalui daya hisap raksasa gaya grafitasinya terhadap benda-benda langit lainnya. Adapun Al Misykat yang diillustrasikan Al Quran "seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar, pelita itu di dalam kaca, kaca itu seakan-akan bintang bercahaya seperti mutiara, yang dinyalakan dari pohon berkah yang berminyak, tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak pula di sebelah baratnya, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api, cahaya di atas cahaya berlapis-lapis".

Nah, dari sifat-sifat keduanya (Lubang Hitam dan Lubang Tak Tembus) yang serupa dan namanya pun identik itu, maka penulis penyimpulkan -Wallahua'lam - bahwa "Al Misykat" (Lubang Tak Tembus), yang diserupakan sebagai cahaya Allah di dalam ayat kajian, adalah juga "Black Hole" (Lubang Hitam), yang baru saja mampu diungkap oleh sains modern pada akhir paruhan akhir abad ke 20, atau lebih 1400 tahun setelah diturunkan Al Quran. Subhanallah, Maha suci Allah yang telah menjadika Al Quran sebagai mukjizat abadi umat manusia.
 

KITAB RAHSIA SHALAT IHYA ULUMUDDIN BAB 7 : TENTANG SHALAT SUNNAT



FASAL 1 Tentang shalat sunnat (Shalat nawaafil).

Ketahuilah, bahwa selain dari shalat-shalat fardlu, terbagi kepada 3 bahagian, yaitu: sunat, mustahab dan tathawwu’. Yang kami maksudkan dengan sunnat, ialah yang dinukilkan daripada Rasulullah saw bahwa beliau rajin mengerjakannya, seperti shalat sunat rawatib di belakang shalat fardlu, shalat Dluha, witir, tahajjud dan lainnya, karena sunat, adalah  ibarat jalan yang selalu ditempuh. Yang kami maksudkan dengan mustahab, ialah yang datang hadits menerangkan keutamaannya dan tidak dinukilkan bahwa Nabi saw rajin mengerjakannya. Seperti apa yang akan kami nukilkan tentang shalat siang dan malam dalam seminggu dan seperti shalat ketika keluar dari rumah dan masuk ke dalam rumah dan lain-lain sebagainya. Yang kami maksudkan dengan tathawwu’, ialah yang lain dari itu, yang tak datang pada atsar. Hanya hamba berbuat tathawwu’ (amalan sunat dan bakti), karena ingin bermunajah dengan Allah Ta’ala, dengan shalat yang diterangkan agama keutamaannya secara mutlak. Seolah-olah ia berderma, karena tidak disunatkan shalat itu secara khusus, tetapi disunatkan mengerjakan shalat secara mutlak. Tathawwu’, adalah ibarat daripada berderma (ber-tabarru’!).  Shalat yang tiga macam tadi dinamakan shalat nawaafil, dari segi bahwa, kata-kata “an-nafl”, ialah: tambah. Karena jumlahnya, menambahkan kepada shalat fardlu. Kata-kata: nafilah; sunat (sunnah), mustahab dan tathawwu’ kami maksudkan memberikan, istilah kepadanya, ialah untuk memperkenalkan maksud-maksud tersebut tadi dan tak ada salahnya orang yang merobah istilah itu. Maka tak ada artinya perbedaan kata-kata, setelah dipahami maksudnya. Masing-masing bahagian tadi, berlebih kurang derajat kelebihannya, sepanjang yang datang dari hadits dan atsar, yang menerangkan kelebihannya dan menurut tingkat kerajinan. Nabi saw mengerjakannya dan menurut syahnya dan terkenalnya hadits-hadits yang meriwayatkannya. Dari itu dikatakan: shalat sunat yang dikerjakan dengan berjama’ah, adalah lebih utama dari shalat sunat yang dikerjakan sendirian. Dan yang lebih utama dari shalat sunat yang dikerjakan dengan berjama’ah, ialah: shalat hari raya, kemudian shalat gerhana bulan atau matahari, kemudian shalat minta hujan (shalat istisqa’). Dan yang lebih utama dari shalat yang dikerjakan sendirian, ialah: shalat witir, kemudian dua raka’at fajar (sebelum shalat Shubuh), kemudian sunat-sunat rawatib sesudah yang dua ini, menurut tingkat kelebih-kurangannya. Ketahuilah, bahwa shalat nawaafil, mengingat kepada hubungannya, terbagi kepada: yang berhubungan kepada sebab, seperti shalat gerhana dan shalat minta hujan dan yang berhubungan dengan waktu. Dan yang berhubungan dengan waktu, terbagi kepada: yang berulang-ulang dengan berulang-ulangnya siang dan malam atau dengan berulang-ulangnya minggu atau dengan berulang-ulangnya tahun. Maka jumlahnya 4 bahagian:


FASAL 2  Yang berulang-ulang dengan berulang-ulangnya siang dan malam. Iaitu: Delapan,  

Lima, iaitu: shalat sunat rawatib dari 5 shalat fardlu.

Dan tiga, yang lain, iaitu: shalat  Dhuha, shalat yang dikerjakan di antara Maghrib dan ‘Isya’ & Tahajjud.


Pertama: sunat rawatib Shubuh, iaitu dua raka’at.

Bersabda Nabi Muhammad saw: “Dua raka’at fajar adalah lebih baik daripada dunia dan isinya”. Masuk waktunya dengan terbit fajar shadiq. Yaitu yang melayang tidak memanjang. Mengetahuinya dengan memandangnya, adalah sukar pada mulanya. Kecuali orang yang mempelajari tempat kedudukan bulan atau mengetahui persamaan terbitnya dengan bintang-bintang yang kelihatan dengan mata. Lalu diambil dalil dengan bintang-bintang itu, atas terbitnya fajar. Dapat dikenal fajar itu dengan bulan, pada dua malam dari tiap-tiap bulan. Karena bulan terbit bersama fajar pada malam 26 dan terbit cahaya fajar serta terbenam bulan pada malam 12 dari tiap-tiap bulan. Ini adalah menurut kebiasaan dan terjadi padanya berlebih kurang pada sebahagian buruj. Untuk menerangkannya memerlukan kepada waktu panjang. Mempelajari tempat kedudukan (munazil) bulan, adalah termasuk yang penting bagi murid, sehingga ia mengetahui batasan waktu pada malam hari dan Shubuh. Dan hilanglah waktu dua raka’at fajar, dengan hilangnya waktu fardlu Shubuh. Yaitu terbitnya matahari. Tetapi sunat mengerjakannya, adalah sebelum mengerjakan fardlu. Kalau masuk ke masjid dan telah diqamatkan, bahwa hendaklah dikerjakan shalat fardlu, karena sabda Nabi saw: “Apabila telah ditegakkan shalat (diqamatkan), maka tak ada shalat selain dari fardlu”. Kemudian, apabila telah selesai dari shalat fardlu, maka bangunlah mengerjakan dua raka’at fajar itu. Dan yang shahih (pendapat yang lebih benar) keduanya masih di dalam waktunya (adaa’), selama dikerjakan sebelum terbit matahari. Karena keduanya, mengikuti fardlu tentang waktunya. Dan terbit diantara keduanya yaitu mendahulukan yang sunat dan mengemudiankan yang fardlu, adalah sunat apabila tidak menjumpai shalat jama’ah. Apabila menjumpai shalat jama’ah, maka terbaliklah tertib dan tinggallah dua raka’at fajar itu masih di dalam waktu (dengan mengerjakannya sesudah berjama’ah itu). Disunatkan dua raka’at fajar dikerjakan di rumah dengan diringankan. Kemudian masuk ke masjid dan mengerjakan dua raka’at tahiyat masjid. Kemudian duduk dan tidak mengerjakan shalat, sampai kepada mengerjakan shalat fardlu. Diantara waktu shalat Shubuh sampai terbit matahari, disunatkan berdzikir, berfikir dan menyingkatkan dengan mengerjakan saja dua raka’at fajar dan fardlu Shubuh.

Kedua: sunat rawatib Dhuhur,

iaitu 6 raka’at. Dua raka’at sesudah Dhuhur, dan dia juga sunat muakkadah (sunat dikuatkan) dan 4 rakaa’at sebelumnya, yaitu sunat juga, walaupun yang 4 raka’at ini, kurang derajatnya dari dua raka’at yang kemudian shalat Dhuhur. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra daripada Nabi saw, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang mengerjakan shalat 4 raka’at sesudah tergelincir matahari, dengan membaguskan bacaan, ruku’ dan sujudnya, niscaya bershalatlah sertanya 70.000 malaikat, yang meminnta ampun kepadanya malam”. Adalah Nabi saw tidak meninggalkan shalat 4 raka’at sesudah tergelincir matahari, yang dipanjangkannya, seraya bersabda: “Bahwa segala pintu langit terbuka pada saat itu, maka aku menyukai bahwa diangkatkan amalanku padanya”. Hadits ini diriwayatkan Abu Ayyub Al-Anshari dan dia sendiri saja yang meriwayatkannya. Dan juga ditunjukkan kepada yang tersebut tadi, oleh apa yang diriwayatkan Ummu Habibah - isteri Nabi saw- bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang mengerjakan shalat tiap-tiap hari 12 raka’at, di luar shalat fardlu, niscaya dibangun baginya sebuah rumah dalam sorga, yaitu: 2 raka’at sebelum fajar, 4 raka’at sebelum Dhuhur dan 2 raka’at sesudahnya, 2 raka’at sebelum ‘Ashar dan 2 raka’at sesudah Maghrib”. Berkata Ibnu Umar ra: “Saya hafal dari Rasulullah saw, pada tiap-tiap hari 10 raka’at, lalu disebutkannya apa yang disebutkan Ummu Habibah ra, kecuali 2 raka’at fajar. Maka mengenai ini, berkata Ibnu Umar ra: “Itulah saat yang tidak dikerjakan Rasulullah saw di muka saja. Tetapi diceriterakan kepada saya oleh saudara perempuan saya Hafshah ra bahwa Nabi saw mengerjakan shalat 2 raka’at di rumahnya, kemudian beliau keluar. Dan beliau bersabda dalam haditsnya: 2 raka’at sebelum Dhuhur dan 2 raka’at sesudah ‘Isya’. Maka jadilah 2 raka’at sebelum Dhuhur lebih muakkadah dari 4 raka’at itu. Dan masuk waktunya, dengan tergelincir matahari. Tergelincir matahari (zawal), dapat dikenal dengan bertambahnya bayang-bayang sesuatu yang ditegakkan, condong arah ke Timur, karena bayang-bayang sesuatu ketika terbit matahari menuju arah ke Barat dengan memanjang. Kian matahari meninggi, kian bayang-bayang itu berkurang panjangnya dan beralih dari pihak Barat, sampai matahari itu meninggi ke puncaknya, yaitu lingkaran setengah hari. Maka yang demikian itu penghabisan kurangnya bayang-bayang. Apabila matahari sudah tergelincir dari penghabisan ketinggiannya, lalu bayang-bayang kian bertambah.

 Tatkala bertambahnya bayang-bayang tengah hari sudah kelihatan, maka masuklah waktu Dhuhur. Dan diketahui dengan sebenarnya, bahwa zawal pada ilmu Allah Ta’ala telah terjadi sebelumnya. Tetapi kewajiban hukum tidaklah terikat selain dengan yang tampak pada pancaindra. Kadar sisa dari bayang-bayang tengah hari, yang akan bertambah itu, adalah panjang pada musim dingin dan pendek pada musim panas. Dan sepanjang-panjangnya, ialah sampainya matahari pada awal lingkaran bintang al-jad-yi (anak kambing) dan sependek-pendeknya, ialah sampainya matahari pada awal lingkaran bintang assarthan (ketam). Dan ini dapat diketahui dengan tapak kaki dan timbangan. Jalan yang dekat untuk membuktikan nya bagi orang yang mau menjaganya baik-baik, ialah memperhatikan kutub Utara di malam hari dan meletakkan papan 4 persegi dengan meratakan di atas tanah, dimana salah satu pinggirnya dari pihak kutub, sehingga kalau diumpamakan jatuh sebutir batu dari kutub ke bumi, kemudian diumpamakan suatu garis dari tempat jatuh batu itu ke pinggir seterusnya dari papan, niscaya tegaklah suatu garis atas pinggir itu, diatas dua sudut yang lurus. Artinya: garis itu tiada miring ke salah satu dari dua pinggir tadi. Kemudian, ditegakkan suatu tiang ke atas papan dengan lurus, pada tempat yang bertanda X, yaitu: yang setentang dengan kutub. Maka terjadilah bayang-bayang di atas papan pada awal siang, miring ke arah barat, jurusan garis A. Kemudian bayang-bayang itu terus miring, sampai melimpit ke atas garis B, dimana kalau ujung dari tiang itu dipegang, maka sampailah ia lurus ke tempat jatuh batu itu. Dan setentang dengan pinggir bahagian Timur dan bahagian Barat, tanpa miring kepada salah satu daripada keduanya. Apabila tiada miring lagi ke pihak Barat, maka adalah matahari pada keadaan yang tertinggi sekali. Dan apabila bayang-bayang miring dari garis yang diatas papan itu ke arah Timur, maka nyatalah telah gelincir matahari. Dan ini dapat diketahui kebenarannya dengan pancaindra, pada waktu yang dekat dari permulaan gelincir pada ilmu Allah Ta’ala. kemudian diketahui atas ujung bayang-bayang ketika berpalingnya dari tanda. Apabila bayang-bayang dari tanda itu telah menjadi sepanjang tiang, maka masuklah waktu ‘Ashar. Sekedar ini, tak mengapalah mengetahuinya mengenai pengetahuan tentang bayang-bayang. Inilah gambarnya!.

Ketiga: sunat rawatib “Ashar,

yaitu 4 raka’at sebelum ‘Ashar. Diriwayatkan Abu Hurairah ra daripada Nabi saw bahwa Nabi saw bersabda: “Dirahmati Allah akan hamba yang mengerjakan shalat 4 raka’at sebelum ‘Ashar”. Mengerjakan yang demikian, dengan mengharap agar termasuk dalam do’a Nabi saw, adalah disunatkan sebagai sunat muakkadah. Dan do’a Nabi saw, -tidak meragukan lagi- adalah diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan kerajinan Nabi saw mengerjakan sunat sebelum ‘Ashar, tidaklah seperti kerajinannya mengerjakan 2 raka’at sebelum Dhuhur.
Keempat: sunat rawatib Maghrib,

yaitu 2 raka’at sesudah fardlu Maghrib, yang tak ada perselisihan riwayat tentang 2 raka’at itu. Mengenai 2 raka’at sebelum fardlu Maghrib, antara adzan dan qamat, secara cepat saja, maka telah dinukilkan dari segolongan shahabat seperti Ubai bin Ka’b, Ubaddah bin Ash-Shamit, Abi Dzar, Zaid bin Tsabit dan lain-lain. Berkata Ubaddah atau orang lain: “Adalah muadzin apabila telah mengerjakan adzan untuk shalat Maghrib, lalu bersegeralah para shahabat Rasulullah saw ke dekat tiang, untuk mengerjakan 2 raka’at shalat”. Berkata setengah mereka: “Adalah kami mengerjakan 2 raka’at shalat sebelum Maghrib, sehingga masuklah orang yang masuk ke dalam masjid, lalu menyangka  kami telah mengerjakan shalat. Lalu orang yang masuk itu bertanya: “Sudahkah tuan-tuan mengerjakan shalat fardlu Maghrib?”. Hal itu termasuk dalam umumnya sabda Nabi saw: ”Diantara tiap-tiap dua adzan, ada shalat bagi siapa yang mau mengerjakannya”. Imam Ahmad bin Hanbal mengerjakan shalat 2 raka’at itu, lalu beliau dilecehkan oleh orang banyak, maka beliau tinggalkan. Beliau ditanyakan tentang itu, lalu menjawab: “Aku tiada melihat orang banyak mengerjakannya, dari itu aku tinggalkan”. Kemudian beliau menyambung: “Kalau seseorang mengerjakan kedua raka’at itu di rumahnya atau di tempat yang tidak dilihat orang banyak, maka adalah baik”. Waktu Maghrib itu masuk dengan terbenam matahari dari pandangan mata, pada daerah yang rata tanahnya, yang tiada dikelilingi oleh bukit-bukit. Kalau dikelilingi oleh bukit-bukit pada arah matahari terbenam, maka terletaklah waktu Maghrib itu, kepada tampaknya kedatangan hitam di sebelah Timur. Bersabda Nabi saw: “Apabila datanglah malam dari sini dan pergilah siang dari sini, maka berbuka puasalah orang yang berpuasa”. Lebih disunatkan, menyegerakan shalat Maghrib khususnya. Kalau dilambatkan dan dikerjakan sebelum terbenam syafaq-merah, maka Maghrib itu jatuh dalam waktunya (‘adaa), akan tetapi makruh. Pada suatu malam, Umar ra terlambat mengerjakan Maghrib, sampai terbit sebuah bintang, lalu beliau memerdekakan seorang budak. Dan Ibnu Umar terlambat mengerjakan Maghrib, sampai terbit dua bintang, lalu ia memerdekakan dua orang budak.


Kelima: sunat rawatib ‘Isya’,

4 raka’at sesudah shalat fardlu ‘Isya’. Berkata ‘Aisyah: “Adalah Rasulullah saw mengerjakan shalat 4 raka’at sesudah ‘Isya’, kemudian ia tidur”. Dipilih oleh setengah ulama dari kumpulan hadits-hadits, bahwa bilangan shalat rawatib, ialah 17 raka’at, seperti bilangan raka’at shalat fardlu. Yaitu: 2 raka’at sebelum Shubuh, 4 raka’at sebelum Dhuhur dan 2 rak’at sesudahnya, 4 raka’at sebelum ‘Ashar, 2 raka’at sesudah Maghrib dan 3 raka’at sesudah ‘Isya’. Yaitu shalat Witir. Manakala telah dikenal hadits-haddits yang menerangkan apa yang tersebut tadi, maka tak adalah artinya untuk diterkakan. Nabi saw telah bersabda: “Shalat adalah sebaik-baik tempat. Siapa yang mau, perbanyakkanlah dan siapa yang mau, sedikitkanlah!”. Jadi, pilihan tiap-tiap murid, dari shalat-shalat ini adalah menurut kegemarannya pada kebajikan. Dan telah terang pada apa yang telah kami sebutkan, bahwa setengahnya adalah lebih kuat sunatnya daripada yang lain. Meninggalkan yang lebih muakkad itu adalah lebih jauh daripada kebaikan. Apalagi, yang fardlu itu disempurnakan dengan yang sunat. Siapa yang tidak memperbanyakkan sunat, mungkin fardlunya itu tidak selamat, tanpa ada yang menempelkan dari kekurangan.


Keenam: Sunat Witir.

Berkata Anas bin Malik: “Adalah Rasulullah saw mengerjakan shalat witir sesudah ‘Isya’ 3 raka’at. Beliau baca pada raka’at pertama “Sabbihisma rabbikal-a’laa”, pada raka’at kedua “Qul yaa ayyuhal kaafiruun”, dan pada raka’at ketiga “Qul huwallaahu ahad”. Tersebut pada hadits bahwa Nabi saw mengerjakan shalat 2 raka’at sesudah witir dengan duduk dan pada sebahagiannya dengan duduk tarabbu’ (duduk dengan melipatkan kedua tapak kaki ke bawah dua paha). Pada setengah hadits tersebut: “Apabila Nabi saw bermaksud masuk ke tempat tidur, maka beliau merangkak kepadanya dan mengerjakan shalat di atas tempat tidur itu 2 raka’at, sebelum tidur, dimana beliau membaca pada kedua raka’at tadi “Idzaa zulzilatil-ardlu” dan surat “At-Takaatsur”. Pada riwayat lain “Qul yaa ayyuhal kaafiruun”. Dibolehkan witir itu becerai dan bersambung dengan sekali salam atau dua kali salam. Rasulullah saw mengerjakan shalat witir dengan seraka’at, dengan tiga, lima dan begitulah seterusnya dengan ganjil sampai kepada sebelas raka’at. Riwayat mengenai 13 raka’at diragukan. Dan pada suatu hadits syadz (sangat tipis untuk dipercayai), 17 raka’at. Segala raka’at ini, yakni: apa yang telah kami sebutkan jumlahnya ganjil, adalah shalat malam. Yaitu shalat Tahajjud. Shalat Tahajjud di malam hari, adalah sunat muakkadah. Dan akan datang penjelasan kelebihannya pada “kitab wirid”. Dan tentang keutamaannya, terdapat khilaf, (perbedaan pendapat). Ada yang mengatakan, bahwa berwirid dengan seraka’at saja, adalah lebih utama. Karena syahlah hadits bahwa Nabi saw membiasakan berwitir dengan seraka’at. Ada yang mengatakan, disambung adalah lebih utama, untuk menghindarkan dari khilaf yang meragukan. Lebih-lebih bagi imam. Karena mungkin ia diikuti orang, yang berpendapat, seraka’at itu bukan shalat.

Kalau ia mengerjakan shalat dengan disambung (disambung lebih dari seraka’at kepada tiga raka’at umpamanya), maka semuanya itu diniatkan witir. Dan kalau disingkatkan seraka’at saja sesudah 2 raka’at sunat ‘Isya’ atau sesudah fardlu ‘Isya’, niscaya diniatkan witir dan syah. Karena syarat witir ialah ganjil pada dirinya sendiri dan mengganjilkan bagi shalat lain yang terdahulu sebelumnya. Dan itu telah mengganjilkan shalat fardlu. Kalau dikerjakan witir sebelum shalat ‘Isya’, maka tidak syah. Artinya: tidak memperoleh kelebihan witir, yang “lebih baik baginya, daripada unta merah”, sebagaimana tersebut pada hadits. Kalau tidak demikian, maka seraka’at tunggal, adalah syah untuk witir, pada sembarang waktu. Witir itu tidak syah sebelum ‘Isya’, karena bertentangan dengan ijama’ semua orang tentang pelaksanaan witir. Dan karena tidak didahului oleh suatu shalat yang membuatkan dia menjadi ganjil raka’atnya (witir). Apabila bermaksud mengerjakan shalat witir dengan 3 raka’at terpisah, maka mengenai niatnya pada dua raka’at, ada penilikan. Yaitu kalau diniatkan dengan dua raka’at itu tahajjud atau sunat ‘Isya’, maka tidaklah itu menjadi witir. Kalau diniatkan witir, maka tidaklah itu sendiri menjadi witir, tetapi yang menjadi witir, ialah yang sesudahnya. Tetapi yang lebih kuat, bahwa diniatkan witir, sebagaimana diniatkan witir pada 3 raka’at yang bersambung. Tetapi witir itu, mempunyai dua pengertian. Pertama, adalah dia itu witir pada dirinya sendiri. Dan kedua, bahwa ia ada, untuk menjadikan witir dengan apa yang sesudahnya. Sehingga jumlah yang tiga itu adalah witir (ganjil) dan dua raka’at itu adalah dalam jumlah yang tiga tadi. Hanya kewitirannya itu, terletak atas raka’at yang tiga. Apabila bermaksud membuat yang dua raka’at itu witir (ganjil) dengan raka’at yang ketiga, maka hendaklah diniatkan yang dua raka’at itu witir dan raka’at ketiga adalah witir dengan sendirinya dan mewitirkan pula lainnya. Sedang yang dua raka’at, tidaklah mewitirkan yang lain dan tidaklah ia menjadi witir dengan sendirinya. Tetapi kedua raka’at itu menjadi witir, disebabkan oleh yang lain. Selayaknyalah witir itu menjadi penghabisan shalat malam, sehingga dia itu dikerjakan sesudah shalat tahajjud. Dan akan diterangkan kelebihan witir dan tahajud serta cara tertib diantara keduanya dalam Kitab Wirid nanti.


Ketujuh: shalat Dhuha.

Membiasakan shalat Dluha, adalah termasuk amal perbuatan yang penting dan utama. Bilamana raka’at, yang terbanyak menurut riwayat yang dinukilkan, adalah 8 raka’at. Diriwayatkan oleh Ummu Hani’ saudara perempuan dari Saidina Ali bin Abi thalib ra bahwa Nabi saw mengerjakan shalat Dluha 8 raka’at, di mana Nabi saw mengerjakannya dengan berlama-lama dan dengan sebaik-baiknya. Dan tidaklah dinukilkan yang demikian lamanya itu pada shalat yang lain. Dan ‘Aisyah menyebutkan, bahwa Nabi saw mengerjakan shalat Dluha 4 raka’at dan menambahkannya sebanyak-banyaknya, sehingga tambahan itu tidak terbatas. Artinya: adalah Nabi saw membiasakan 4 raka’at dan tidak kurang daripadanya.

 Kadang-kadang ditambahkannya dengan beberapa tambahan. Dan diriwayatkan pada hadits yang tunggal perawinya (hadits mufrad), bahwa Nabi saw mengerjakan shalat Dluha 6 raka’at. Waktu shalat Dluha, menurut riwayat yang diriwayatkan Ali ra bahwa Nabi saw mengerjakan shalat Dluha 6 raka’at pada dua waktu. Yaitu apabila telah terbit matahari dan sudah meninggi, lalu beliau bangun dan bershalat dua raka’at. Yaitu: yang pertama bagi wirid kedua, dari wirid-wirid siang, sebagaimana akan diterangkan. Dan apabila matahari telah membentang dan berada pada seperempat langit dari sebelah Timur, lalu beliau mengerjakan shalat 4 raka’at. Yang pertama tadi adalah ketika matahari telah meninggi kira-kira setengah anak panah. Dan yang kedua, apabila telah berlalu 1/4 siang, sebanding dengan shalat ‘Ashar (waktu sorenya). Maka waktunya, bahwa masih tinggal dari siang, kira-kira 1/4nya. Dan Dhuhur adalah pada pertengahan hari dan Dluha adalah pada pertengahan diantara terbit matahari, sampai kepada gelincirnya, sebagaimana ‘Ashar adalah pada pertengahan diantara gelincir matahari, sampai kepada terbenamnya. Inilah waktu-waktu yang paling utama. Dan dari waktu meninggi matahari, sampai kepada sebelum gelincirnya, adalah waktu bagi shalat Dluha umumnya.


Kedelapan: menghidupkan shalat diantara Maghrib dan ‘Isya’.

Iaitu sunat muakkadah. Diantara yang dinukilkan bilangan raka’atnya daripada perbuatan Nabi saw diantara Maghrib dan ‘Isya’ itu, ialah 6 raka’at. Shalat ini mempunyai kelebihan besar. Dan ada yang mengatakan bahwa shalat itulah yang dimaksudkan dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Mereka meninggalkan tempat tidurnya, menyeru Tuhannya”. S 32 As Sajdah ayat 16. Diriwayatkan daripada Nabi saw bahwa beliau bersabda: “Siapa yang bershalat diantara Maghrib dan ‘Isya’, maka sesungguhnya shalat itu sebahagian dari shalat orang-orang yang bertobat”. Bersabda Nabi saw: “Siapa yang beri’tikaf antara Maghrib dan ‘Isya’, dalam masjid tempat berjama’ah, di mana ia tidak berkata-kata, selain daripada bershalat atau membaca Al-Qur’an, niscaya ia berhak pada Allah Ta’ala, untuk dibangun baginya 2 istana di dalam sorga. Masing-masing istana itu sejauh perjalanan 100 tahun dan ditanamkan baginya diantara kedua istana tadi tanam-tanaman. Kalau dikelilingi oleh penduduk bumi, maka termuatlah mereka semuanya”. Dan akan datang penjelasan segala kelebihan nya yang lain dalam Kitab Wirid nanti, Insya Allah Ta’ala!.



FASAL 3 : TENTANG SHALAT SUNNAT Yang berulang-ulang dengan berulang-ulangnya minggu.

Iaitu shalat dalam segala siang dan malamnya dari seminggu, bagi tiap-tiap hari dan tiap-tiap malam.

Maka kami mulai dari segala hari itu, dengan hari ahad.


Hari Ahad:

Diriwayatkan Abu Hurairah ra daripada Nabi saw, bahwa beliau bersabda: “Siapa yang mengerjakan shalat pada hari Ahad 4 raka’at di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’atnya “Al-Fatihah” dan Aamanar-rasuul” 1X (S. Al Baqarah 284-826) , niscaya dituliskan oleh Allah untuknya sebanyak bilangan orang Nasrani, prianya dan wanitanya, akan kebajikan. Dan diberikan oleh Allah Ta’ala kepadanya pahala nabi dan dituliskan baginya hajji dan ‘umrah. Dituliskan baginya tiap-tiap raka’at 1000 shalat. Dan diberikan Allah kepadanya di dalam sorga, tiap-tiap huruf, satu kota dari kesturi yang harum semerbak baunya”. Diriwayatkan daripada Ali bin Abi Thalib ra bahwa Nabi saw bersabda: “Bertauhidlah kepada Allah Ta’ala dengan memperbanyakkan shalat pada hari Ahad. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu Esa, tiada sekutu bagi Allah. Siapa yang mengerjakan shalat pada hari Ahad, sesudah shalat Dhuhur, 4 raka’at setelah fardlu dan sunat, dimana ia membaca pada raka’at pertama, surat Al-Fatihah dan surat As-Sajadah dan pada raka’at kedua, surat Al-Fatihah dan surat Al-Mulk, kemudian ia bertasyahhud dam memberi salam. Kemudian ia bangun, lalu bershalat 2 raka’at lagi, di mana ia membaca pada keduanya, surat Al-Fatihah dan surat Al-Jumu’ah serta bermohon pada Allah Ta’ala akan hajatnya, niscaya ia berhak atas Allah untuk disampaikan hajatnya”.


Hari Senin:
Diriwayatkan oleh Jabir daripada Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: “Siapa yang mengerjakan shalat pada hari Senin ketika meninggi hari, 2 raka’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at, surat Al-Fatihah sekali, ayat Al-Kursy sekali, Qul huwallaahu ahad, Qul a’uudzubirab-bil-falaq dan Qul a’uudzu birab-binnas sekali. Apabila ia sudah memberi salam, lalu beristighfar (meminta ampunan dosa pada Allah Ta’ala) 10 kali dan berselawat kepada Nabi saw 10 kali, niscaya diampunkan Allah Ta’ala dosanya semuanya”. Diriwayatkan oleh Annas bin Malik daripada Nabi saw bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang mengerjakan shalat pada hari Senin 12 raka’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at surat Al-Fatihah dan ayat Al-Kursy sekali. Setelah siap daripada shalat itu, lalu membaca Qul huwallaahu ahad 12 kali dan beristighfar 12 kali, maka ia akan dipanggil pada hari Qiamat nanti: “Manakah si Anu anak si Anu? Hendaklah bangun, untuk mengambil pahalanya daripada Allah Ta’ala! Maka yang mula-mula daripada pahala yang diberikan, ialah 1000 helai pakaian dan ia memakai mahkota, seraya dikatakan kepadanya: “Masuklah ke sorga!”. Maka ia diterima oleh 100.000 malaikat, masing-masing malaikat membawa hadiah, yang akan diserahkan kepadanya. Kemudian ia dibawa berkeliling 1000 mahligai daripada nur yang gilang gemilang”.



Hari Selasa:

Diriwayatkan oleh Yazid Ar-Raqqasyi dari Anas bin Malik. Berkata Anas, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang mengerjakan shalat pada hari Selasa, 10 raka’at ketika menengah hari”, dan pada hadits lain “ketika meninggi hari, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at surat Al-Fatihah dan ayat Al-Kursy sekali dan Qul huwallaahu ahad 3 kali, maka tidak dituliskan kesalahannya sampai 70 hari lamanya. Kalau ia meninggal dunia sampai hari ke-70 itu, niscaya ia mati syahid dan diampunkan baginya dosa 70 tahun”.


Hari Rabu:

Diriwayatkan oleh Abu Idris Al-Khaulani dari Mu’adz bin Jabal ra, berkata Mu’adz, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang mengerjakan shalat pada hari Rabu 12 raka’at ketika meninggi hari, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at surat Al-Fatihah dan ayat Al-Kursy sekali dan Qul huwallaahu ahad 3 kali, Qul a’uudzu birab-bil-falaq 3 kali dan Qul a’uudzu birab-binnaas 3 kali, niscaya diserukan oleh penyeru di sisi ‘Arasy: “Wahai hamba Allah! kerjakanlah kembali perbuatan itu! Sesungguhnya telah diampunkan bagi engkau, yang telah terdahulu daripada dosa engkau. Diangkatkan oleh Allah daripada engkau ‘azab kubur, kesempitan dan kegelapannya, diangkatkan oleh Allah daripada engkau kesengsaraan hari Qiamat”. Dan diangkatkan oleh Allah untuknya dari   harinya itu amal perbuatan nabi”.

Hari Kamis:

Dari ‘Akramah, dari Ibnu Abbas, berkata Ibnu Abbas, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa mengerjakan shalat pada hari Kamis, antara Dhuhur dan ‘Ashar 2 raka’at, di mana ia membaca pada raka’at pertama surat Al-Fatihah dan ayat Al-Kursy 100 kali dan pada raka’at kedua surat Al-Fatihah dan Qul huwallaahu ahad 100 kali dan berselawat kepada Muhammad 100 kali, niscaya ia diberikan oleh Allah pahala orang yang berpuasa bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadlan dan baginya pahala seperti pahala orang yang mengerjakan hajji ke Baitullah dan dituliskan baginya kebaikan, sebanyak bilangan semua orang yang beriman kepada Allah dan bertawakkal kepada Allah”.


Hari Jum’at:

 Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra, daripada Nabi saw, bahwa beliau bersabda: “Hari Jum’at, adalah shalat seluruhnya. Tidaklah seorang hamba yang mu’min, yang bangun berdiri, ketika matahari telah terbit dan meninggi segalah atau lebih, lalu ia berwudlu dan menyempurnakan wudlunya, kemudian mengerjakan sunat Dluha 2 raka’at, karena beriman dan karena Allah semata-mata, melainkan dituliskan Allah baginya 200 kebaikan dan dihapuskan daripadanya 100 kejahatan. Siapa mengerjakan shalat 4 raka’at, niscaya diangkatkaan Allah baginya di dalam sorga 400 tingkat. Siapa mengerjakan 8 raka’at, niscaya diangkatkan Allah baginya di dalam sorga 800 tingkat dan diampunkan dosanya seluruhnya. Dan siapa mengerjakan shalat 12 raka’at, niscaya dituliskan Allah baginya 2200 kebaikan dan dihapuskan daripadanya 2200 kejahatan dan diangkatkan Allah baginya di dalam sorga 2200 tingkat”. Dari Nafi’, dari Ibnu Umar ra, dari Nabi saw bahwa beliau bersabda: “Siapa masuk masjid jami’ (masjid tempat bershalat Jum’at) pada hari Jum’at, lalu mengerjakan shalat 4 raka’at sebelum shalat Jum’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at Al-hamdulillah (surat Al-Fatihah) sekali dan Qul huwallaahu ahad 50 kali, niscaya ia tidak mati sehingga ia melihat tempatnya  dari sorga atau diperlihatkan kepadanya”.


Hari Sabtu:

 Diriwayatkan Abu Hurairah, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa mengerjakan shalat pada hari Sabtu 4 raka’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at surat Al-Fatihah sekali dan Qul huwallaahu ahad 3 kali, kemudian tatkala telah selesai daripada shalat, ia membaca ayat Kursy, niscaya dituliskan Allah baginya dengan tiap-tiap satu huruf, akan pahala hajji dan ‘umrah dan diangkatkan Allah baginya dengan tiap-tiap satu huruf, akan pahala puasa setahun siangnya dan pahala ibadah shalat setahun malamnya. Dan diberikan Allah kepadanya dengan tiap-tiap satu huruf akan pahala orang syahid dan adalah ia di bawah naungan ‘Arasy Allah, bersama para nabi dan orang-orang syahid”.


Adapun malam: malam Ahad,
                       
diriwayatkan Anas bin Malik, mengenai malam Ahad itu, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa mengerjakan shalat pada malam Ahad 20 raka’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at surat Al-Fatihah sekali, Qul huwallaahu ahad 50 kali, Qul a’uudzu birab-bil-falaq sekali dan Qul a’uudzu birab-binnaas sekali, bermohon ampunan Allah ‘Azza wa Jalla 100 kali (membaca: Astaghfirullah), mengucapkan istighfar untuk dirinya sendiri dan untuk ibu bapaknya 100 kali, berselawat kepada Nabi saw 100 kali, melepaskan diri dari daya dan upayanya dan berpegang kepada Allah dengan membaca: “Tiada daya dan upaya, selain dengan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung”. Kemudian membaca: “Niscaya baginya pahala sebanyak bilangan orang, yang mendakwakan Allah mempunyai anak dan orang yang tidak mendakwakan Allah mempunyai anak. Dan ia dibangkitkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla pada hari qiamat bersama orang-orang yang memperoleh keamanan, serta ia berhak atas Allah Ta’ala, masuk ke dalam sorga bersama nabi-nabi”.



Malam Senin:

Diriwayatkan Al-A’masy dari Anas, berkata Anas, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa mengerjakan shalat pada malam Senin 4 raka’at, di mana ia membaca pada raka’at pertama Surat Al-Fatihah 1X dan Qul huwallaahu ahad 11X, pada raka’at kedua surat Al-Fatihah 1X dan Qul huwallaahu ahad 20 X, pada raka’at ketiga surat Al-Fatihah 1X dan Qul huwallaahu ahad 30 X dan pada raka’at keempat surat Al-Fatihah 1X dan Qul huwallaahu ahad 40 X. Kemudian ia memberi salam dan membaca Qul huwallaahu ahad 75 X dan mengucapkan istighfar (memohon ampunan Allah) untuk dirinya dan kedua ibu bapaknya 75 X, kemudian ia meminta pada Allah, disampaikan hajat pintanya, niscaya ia berhak atas Allah untuk dikabulkan permintaannya, akan apa yang dimintanya”. Shalat tersebut, dinamakan Shalat Hajat.


Malam Selasa:

Siapa mengerjakan shalat pada malam Selasa 2 raka’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at itu, surat Al-Fatihah 1X, Qul huwallaahu ahad, Qul a’uudzu birab-bil-falaq dan Qul a’uudzu birab-binnaas, masing-masing 15X. Dan sesudah salam, ia membaca 15X ayat Al-Kursy dan membaca istighfar 15X, niscaya adalah baginya pahala yang amat besar dan balasan yang amat banyak. Diriwayatkan dari Umar ra dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda: “Siapa mengerjakan shalat pada malam Selasa 2 raka’at, dimana ia membaca pada tiap-tiap raka’at surat Al-Fatihah 1X, innaa anzalnah dan Qul huwallaahu ahad, masing-masing daripadanya 7X, niscaya ia dibebaskan oleh Allah daripada api neraka dan adalah amal perbuatan itu pada hari qiamat menjadi pemimpin dan penunjuk baginya ke sorga”.


Malam Rabu:

 Diriwayatkan Fatimah ra daripada Nabi saw, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang mengerjakan shalat pada malam Rabu 2 raka’at, di mana ia membaca pada raka’at pertama surat Al-Fatihah 1X dan Qul a’uudzu birab-bil-falaq 10 X dan pada raka’at kedua, sesudah Al-Fatihah, Qul a’uudzu birab-binnaas 10X. Kemudian, apabila telah memberi salam, lalu membaca istighfar 10X, kemudian berselawat kepada Muhammad saw 10X, niscaya turunlah dari tiap-tiap langit 70.000 malaikat, yang menuliskan pahalanya sampai kepada hari qiamat”. Pada hadits lain, tersebut: “16 raka’at, di mana ia membaca sesudah Al-Fatihah “Maa syaa-allaahu” dan ia membaca pada akhir dari kedua raka’at itu, ayat Al-Kursy 30X dan pada yang pertama dari kedua raka’at itu 30 X Qul huwallaahu ahad, maka adalah ia memberi syafa’at kepada 10 orang dari familinya, di mana semuanya harus memperoleh sorga”. Diriwayatkan oleh Fatimah ra dengan mengatakan, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa mengerjakan shalat pada malam Rabu 6 raka’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’atnya sesudah Al-Fatihah, “Qulillaahum-ma maalikal-mulk” sampai akhir ayat. Kemudian tatkala telah selesai dari shalatnya, lalu ia membaca: “Jazallaahu Muhammadan ‘annaa maa huwa ahluh” (Dibalasi Allah akan Muhammad dari kita, apa yang berhak ia mempunyainya), niscaya diampunkan baginya dosa 70 tahun dan dituliskan baginya kelepasan daripada neraka”.



Malam Kamis:

Berkata Abu Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa mengerjakan shalat pada malam Kamis, antara Maghrib dan ‘Isya’ 2 raka’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at, surat Al-Fatihah 1X, ayat Al-Kursy 5X, Qul huwallaahu ahad 5X, Qul a’uudzu birabbil falaq 5X, dan Qul a’uudzu birabbinnaas 5X. Dan tatkala telah selesai dari shalatnya, lalu mengucapkan “istighfar” 15X dan diniatkannya pahalanya untuk ibu bapaknya, maka adalah ia telah menunaikan hak kedua ibu bapaknya atasnya, meskipun ia durhaka kepada keduanya. Dan ia dianugerahkan oleh Allah akan apa yang dianugerahkan kepada orang-orang shiddiq dan syahid”.


Malam Jum’at:
                  
“Berkata Jabir, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa mengerjakan shalat pada malam Jum’at, antara Maghrib dan ‘Isya’, 12 raka’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’atnya, surat Al-Fatihah 1X dan Qul huwallaahu ahad 11X, maka seakan-akan ia telah beribadah kepada Allah Ta’ala selama 12 tahun dengan puasa siangnya dan bangun mengerjakan shalat malamnya”. Berkata Anas, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang mengerjakan shalat pada malam Jum’at, shalat ‘Isya’ yang akhir dalam berjama’ah dan mengerjakan shalat 2 raka’at sunat, kemudian daripada fardlu ‘Isya’. Kemudian ia bershalat sesudah 2 raka’at sunat tadi 10 raka’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’atnya, surat Al-Fatihah, Qul huwallaahu ahad, Qul a’uudzu birabbil falaq dan Qul a’uudzu birabbinnaas sekali-sekali. Kemudian ia bershalat witir 3 raka’at dan ia tidur atas lembungnya yang kanan serta mukanya menghadap qiblat, maka seolah-olah ia telah berbuat ibadah pada malam Lailatul Qadar”. Bersabda Nabi saw: “Perbanyakkanlah selawat kepadaku pada malam yang cemerlang dan siang yang gemilang, yaitu malam Jum’at dan hari Jum’at”.


Malam Sabtu:

Berkata Anas bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa mengerjakan shalat pada malam Sabtu, antara Maghrib dan ‘Isya’, 12 raka’at, niscaya didirikan baginya suatu mahligai dalam sorga dan seolah-olah ia telah bersedekah kepada orang mu’min, pria dan wanitanya dan ia terlepas daripada Yahudi dan adalah hak atas Allah Ta’ala mengampuni dosanya”.


FASAL 4 :  TENTANG SHALAT SUNNAT Tentang shalat yang berulang-ulang dengan berulang-ulang tahun.

Iaitu 4: Ada 4 jenis:
      1.       shalat dua hari raya (hari raya puasa dan hari raya hajji),
      2.       shalat tarawih,
      3.       shalat Rajab, dan
      4.       shalat Sya’ban.


PERTAMA: Shalat dua hari raya.

Iaitu: sunat muakkadah & salah satu daripada syi’ar agama. Seyogyalah diperhatikan pada shalat hari raya 7 perkara:

Pertama: takbir 3 kali dengan teratur. Yaitu membaca: “Allah Maha Besar - Allah Maha Besar - Allah Maha Besar, segala puji-pujian sebanyak-banyaknya bagi Allah - Maha suci Allah pagi dan petang-tiada Tuhan yang sebenarnya, selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi Allah semuanya ikhlas mengerjakan suruhan agama karena Allah walaupun orang-orang kafir itu tidak suka”. Dimulai takbir pada malam hari raya puasa (‘Idil-fithri), sampai kepada waktu mengerjakan shalat baginya. Dan pada hari raya hajji (‘Idil-qurban), di mulai takbir sesudah shalat Shubuh hari ‘Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), sampai kepada penghabisan siang hari ke-13 Dzulhijjah. Inilah yang lebih sempurna segala pembacaan. Dan takbir itu dibacakan di belakang shalat fardlu dan shalat sunat. Dan di belakang shalat fardlu, adalah lebih muakkad.
Kedua: Apabila telah datang pagi hari raya, lalu mandi, menghiasi diri dan memakai bau-bauan, sebagaimana telah kami terangkan dahulu pada Jum’at. Rida’ (selendang) dan serban, adalah lebih utama bagi laki-laki. Dan hendaklah disingkirkan dari pakaian sutera untuk anak-anak dan penghiasan diri untuk orang-orang perempuan tua, ketika keluar ke tempat shalat.
Ketiga: Hendaklah keluar dari satu jalan dan pulang dari jalan lain. Begitulah yang diperbuat Rasulullah saw. Dan adalah Rasulullah saw: “menyuruh supaya dikeluarkan (ke tempat shalat hari raya) budak-budak wanita dan anak gadis-gadis pingitan”.
Keempat: disunatkan keluar ke tanah lapang, selain di Makkah dan Baitul-mukaddis. Kalau hari hujan, maka tidak mengapa bershalat di masjid. Dan boleh pada hari terang (tidak ada hujan), imam menyuruh seorang bershalat sebagai imam dengan orang-orang lemah di masjid dan ia sendiri keluar dengan orang-orang kuat ke tanah lapang dengan bertakbir.
Kelima: Dijaga waktu. Waktu shalat hari raya itu, ialah antara terbit matahari sampai kepada gelincir matahari. Dan waktu penyembelihaan qurban, ialah antara meninggi matahari sekedar dua khutbah dan dua raka’at shalat, sampai kepada akhir hari ketiga belas. Disunatkan menyegerakan shalat hari raya qurban, untuk penyembelihan yang dilakukan sesudah shalat. Dan melambatkan hari raya puasa, karena pembahagian zakat fitrah sebelumnya. Begitulah sunnah Rasulullah saw!.
Keenam: tentang cara shalat. Maka hendaklah orang banyak keluar ke tempat shalat dengan bertakbir di jalan! Apabila imam telah sampai ke tempat shalat, maka ia tidak duduk dan tidak mengerjakan shalat sunat dan menyuruh orang banyak menghabiskan shalat sunatnya. Kemudian, berserulah seorang penyeru: “Ash-shalaatu jaami’ah (Shalat itu berjama’ah). Dan imam mengerjakan shalat dengan orang banyak itu, 2 raka’at, di mana ia bertakbir pada raka’at pertama, selain dari takbiratul-ihram dan takbir ruku’, sebanyak 7 X. Dan membaca diantara tiap-tiap 2 takbir itu: Subhaanallaahi wal hamdu lillaahi wa laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar” dan membaca “Wajjahtu wajhia lilladzii fatharas samaawaati wal ardl”, sesudah takbiratul-ihram dan mengemudian kan membaca “A-‘uudzu billaahi minasy-syaithaanir-rajiim”, sampai kepada sesudah takbir ke-8 (yaitu: 7 takbir tadi, ditambah dengan takbiratul-ihram pada permulaan shalat). Dan dibaca surat Qaaf, pada raka’at pertama sesudah Al-Fatihah dan iqtarabat, pada raka’at kedua. Dan tambahan takbir pada raka’at kedua, ialah 5, selain dari takbir untuk berdiri dan untuk ruku’. Dan dibacakan diantara tiap-tiap dua takbir, apa yang telah kami sebutkan di atas tadi. Kemudian, dibaca 2 khutbah. Diantara kedua khutbah itu, duduk sebentar. Orang yang ketinggalan shalat hari raya, maka sunat diqodokan.
Ketujuh: menyembelih qurban seekor kambing atau biri-biri (kibasy) “Rasulullah saw menyembelih dua ekor kibasy, yang manis bentuknya dengan tangan beliau sendiri dan membaca: “Dengan nama Allah - Allah Maha Besar - ini, dariku dan dari orang yang tidak berqurban dari umatku”. Bersabda Nabi saw: “Siapa melihat hilal (bulan sabit) bulan Dzulhijjah dan bermaksud menyembelih qurban, maka janganlah ia mencukur rambutnya dan memotong kukunya walaupun sedikit”. Berkata Abu Ayyub al-Anshari: “Adalah seorang laki-laki menyembelih qurban pada masa Rasulullah saw seekor kambing dari keluarganya dan mereka makan serta memberikan untuk makanan orang lain”. Orang yang berqurban, boleh memakan dari qurbannya sesudah tiga hari dan seterusnya. Pembolehan ini, datangnya adalah sesudah ada pelarangan untuk dimakan sendiri. Berkata Sufyan Ats-Tsuri: “Disunatkan mengerjakan shalat 12 raka’at sesudah shalat ‘Idul-fithri dan 6 raka’at sesudah ‘Idul-adhha”. Berkata Sufyan, bahwa shalat itu termasuk diantara shalat sunat.


KEDUA: Shalat Tarawih:

yaitu 20 raka’at. Dan cara mengerjakannya, sudah terkenal. Shalat tarawih itu, sunat muakkadah, walaupun muakkadahnya kurang dari shalat dua hari raya. Dan berbeda pendapat alim ulama, tentang berjama’ah pada shalat tarawih. Apakah lebih utama dengan berjama’ah atau dengan sendirian? Rasulullah saw telah keluar untuk bershalat tarawih, dua malam atau tiga malam, dengan berjama’ah. Kemudian beliau tiada keluar lagi, dengan mengatakan: “Aku takut nanti diwajibkan atas kamu!”. Umar ra mengumpulkan manusia, untuk bershalat tarawih dengan berjama’ah, di mana sudah dirasa aman daripada diwajibkan, karena wahyu tidak ada lagi. Ada yang mengatakan, bahwa berjama’ah lebih utama karena dikerjakan Umar ra demikian dan karena berjama’ah, ada berkatnya. Dan berjama’ah itu mempunyai kelebihan, dengan dalil shalat-shalat fardlu. Dan kadang-kadang dengan sendirian itu mendatangkan kemalasan dan menjadi rajin, ketika melihat orang banyak. Ada yang mengatakan, sendirian lebih utama, karena shalat ini adalah sunnah Nabi saw, yang tidak termasuk dalam golongan syi’ar agama, seperti shalat dua hari raya. Maka, disamakan shalat tarawih itu dengan shalat Dluha. Dan tahiyyat masjid, adalah lebih utama, di mana tidak disuruh padanya jama’ah. Dan telah berlaku adat kebiasaan bahwa serombongan orang bersama-sama masuk masjid, kemudian tidak melakukan shalat tahiyyat masjid dengan berjama’ah. Dan karena sabda Nabi saw: “Kelebihan shalat sunat di rumah dengan shalat sunat di masjid, adalah seperti kelebihan shalat fardlu di masjid dengan shalatnya di rumah”. Diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda: “Suatu shalat pada masjidku ini, adalah lebih utama daripada 100 shalat pada masjid-masjid lain. Dan suatu shalat dalam Masjidil-haram, adalah lebih utama daripada 1000 shalat pada masjidku. Dan yang lebih utama dari itu semuanya, ialah seorang laki-laki yang melakukan shalat dalam sudut rumahnya 2 raka’at, yang tidak diketahui selain oleh Allah ‘Azza wa Jalla”. Pahamilah ini! Karena ria dan berbuat-buat kadang-kadang datang kepada seseorang dalam ia membaca pada tiap-tiap raka’at surat Al-Fatihah sekali, Innaa anzalnaahu fi lailatil-qadr 3 kali dan Qul huwallaahu ahad 12 kali. Kemudian tatkala telah siap dari shalat, lalu berselawat kepadaku 70 X , yaitu: “Allaahumma shalli ‘alaa Muhammadinin-nabiyyil ummiyyi wa ‘alaa aalihi” kemudian ia sujud dan membaca dalam sujudnya 70 X : “Maha suci, Maha Qudus, Tuhan para malaikat dan nyawa”. Kemudian, ia mengangkat kepalanya dan membaca 70 X : “Hai Tuhanku! Ampunilah dan kasihanilah! Dan lampauilah daripada apa yang Engkau ketahui ! Sesungguhnya Engkau Maha Agung, lagi Maha Mulia”. Kemudian ia sujud sekali lagi dan membaca di dalamnya, seperti apa yang dibacanya pada sujud pertama. Kemudian ia meminta hajatnya dalam sujud, maka hajat itu, akan dipenuhinya”. Bersabda Rasulullah saw: “Tidaklah seorang mengerjakan shalat ini, melainkan diampunkan oleh Allah Ta’ala segala dosanya, meskipun dosa itu seperti buih di laut, sebanyak pasir, seberat bukit dan daun kayu-kayuan. Dan diberi syafa’at pada hari qiamat kepada 700 daripada keluarganya, yaitu orang-orang yang seharusnya masuk neraka”. Inilah shalat sunat! Dan kami kemukakan dalam bahagian ini, karena ia berulang-ulang dengan berulang-ulangnya tahun. Meskipun derajatnya, tidak sampai sederajat shalat tarawih dan hari raya. Karena shalat tadi dinukilkan oleh seorang-seorang (tidak oleh orang banyak). Tetapi saya melihat penduduk Baitul mukaddis umumnya biasa mengerjakan shalat tadi dan tidak membolehkan ditinggalkan. Dari itu, saya ingin membentangkan nya di sini.


KETIGA: shalat Rajab 

Maka diriwayatkan daripada Rasulullah صلى الله عليه وسلم   . bahwa beliau bersabda : "Tiada daripada seseorang yang berpuasa pada hari Kamis pertama daripada bulan Rajab, kemudian mengerjakan shalat, antara 'Isya' dan bahagian pertiga pertama daripada malam. sebanyak dua belas raka'at, yang dipisahkan antara tiap-tiap dua raka'at dengan salam, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka'at surat Al-Fatihah sekali, Innaa anzalnaahu fi lailatil-qadr tiga kali dan Qul huwallaahu ahad dua belas kali. Kemudian tatkala telah siap dari shalat, lalu berselawat kepadaku tujuh puluh kali,
اللهم صل على محمد النبي الأمي وعلى آله  
(Allaahumma shalli 'alaa Muhammadinin-nabiyyil ummiyyi wa 'alaa aalihi).
 سبوح قدوس رب الملائكة والروح
(Subbuuhun qudduusun rabbul malaaikati warruuh).
Artinya : "Maha Suci, Maha Qudus Tuhan para malaikat dan nyawa".
Kemudian ia sujud dan membaca dalam sujudnya tujuh puluh kali :
Kemudian, ia mengangkat kepalanya dan membaca tujuh puluh kali:
 مرة رب اغفر وارحم وتجاوز عما تعلم إنك أنت الأعز الأكرم
(Rab-bighfir warham wa tajaawaz ammaa ta'lamu innaka antal-a-'az-zul akramu).
Artinya : "Hai Tuhanku! Ampunilah dan kasihanilah! Dan lampauilah dari apa yang Engkau ketahui! Sesungguhnya Engkau Maha Agung, lagi Maha Mulia".
Kemudian ia sujud sekali lagi dan membaca di dalamnya, seperti apa yang dibacanya pada sujud pertama. Kemudian ia meminta hajatnya dalam sujud, maka hajat itu, akan dipenuhinya", (1)
Bersabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم  : "Tidaklah seorang mengerjakan shalat ini, melainkan diampunkan oleh Allah Ta'ala segala dosanya, meskipun dosa itu seperti buih di laut, se banyak pasir, seberat bukit dan daun kayu-kayuan. Dan diberi syafa'at pada hari qiamat kepada tujuh ratus daripada keluarganya, yaitu orang-orang yang seharusnya masuk neraka",
Inilah shalat sunat! Dan kami ke mukakan dalam bahagian ini, karena ia berulang-ulang dengan berulang-ulangnya tahun. Meskipun derajatnya, tidak sampai sederajat shalat Tarawih dan Hari Raya. Karena shalat tadi dinukilkan oleh seorang-seorang (tidak oleh orang banyak). Tetapi saya melihat penduduk Baitulmukaddis umumnya biasa mengerjakan shalat tadi dan tidak membolehkan ditinggalkan. Dari itu, saya ingin membentangkannya di sini.


KEEMPAT:  Shalat Sya’ban

yaitu, malam ke-15 daripadanya, di mana dikerjakan shalat itu sebanyak 100 raka’at. Tiap-tiap  dua raka’at diberi salam, dimana dibacakan pada tiap-tiap raka’at, sesudah surat Al-Fatihah, Qul huwallaahu ahad 11X dan kalau ia mau, maka ia mengerja kan shalat itu 10 raka’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at, sesudah surat Al-Fatihah, 100 X  Qul huwallaahu ahad. Ini juga diriwayatkan dalam kumpulan shalat-shalat, di mana orang-orang dahulu (salaf), mengerjakan shalat ini. Dan menamakannya “Shalat Kebajikan” dan mereka berkumpul pada shalat itu. Kadang-kadang mereka kerjakan dengan berjama’ah. Diriwayatkan daripada Al-Hasan, bahwa beliau berkata: “Telah berceritera kepadaku, 30 orang shahabat Nabi saw, bahwa siapa yang mengerjakan shalat ini pada malam tersebut, niscaya Allah memandang kepadanya 70 pandangan dan menyampaikan dengan tiap-tiap pandangan itu, 70 hajat keperluannya, yang sekurang-kurangnya, ialah pengampunan dosa”.


Tentang shalat-shalat sunat yang berhubungan dgn sebab-sebab mendatang & tidak berhubungan dengan waktu.

Iaitu: 9 perkara:

      1.       Shalat gerhana bulan
      2.       Sholat gerhana matahari,
      3.       Shalat minta hujan,
      4.       Shalat jenazah,
      5.       Shalat tahiyyat masjid,
      6.       Sholat 2 raka’at wudlu
      7.       Sholat 2 raka’at antara adzan dan qamat,
      8.       Sholat dua raka’at ketika keluar dari rumah dan
      9.       Sholat ketika masuk ke rumah dan sebagainya. Akan kami terangkan semuanya itu, satu persatu.

Pertama: shalat gerhana bulan.

Bersabda Rasulullah saw: “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah tanda dari tanda-tanda wujud Allah. keduanya tidak gerhana, karena mati seseorang atau hidup seseorang. Apabila kamu melihat gerhana itu, bersegeralah mengingati Allah dan mengerjakan shalat!”. Nabi saw bersabda demikian, tatkala meninggal anaknya Ibrahim as dan matahari gerhana, lalu berkatalah orang banyak: “Matahari itu gerhana, karena meninggalnya Ibrahim as”. Memperhatikan kepada cara dan waktunya, adalah: Caranya, ialah apabila gerhana matahari pada waktu, di mana shalat padanya makruh atau tidak makruh, maka diserukan dengan suara keras: “Ash-shalaatu jaami’ah” (sholat itu berjama’ah). Imam, mengerjakan shalat gerhana itu dengan orang banyak di masjid, dua raka’at banyaknya, di mana ia ruku’ pada tiap-tiap raka’at dua ruku’. Yang pertama lebih panjang daripada yang kedua. Dan tidak dibacakan dengan keras (tidak dengan jahr). Dibacakan pada yang pertama dari berdiri raka’at pertama, surat Al-Fatihah dan surat Al-Baqarah dan pada yang kedua dari berdiri raka’at kedua, surat Al-Fatihah dan Ali ‘Imran. Pada yang ketiga dari berdiri raka’at ketiga, surat Al-Fatihah dan surat An-Nisaa’ dan pada rakaat ke 4 surat Al fateha dan surat Al-Maidah. Ataupun sepanjang itu dari Al-Qur’an, di mana saja di kehendakinya. Kalau disingkatkan dengan membaca surat Al-Fatihah saja, pada tiap-tiap berdiri, niscaya memadai. Dan kalau disingkatkan atas surat-surat yang pendek, maka tiada mengapa. Dan yang dimaksudkan dengan memanjangkan bacaan, ialah supaya terus-menerus shalat sampai habis gerhana. Pada ruku’ pertama, dibacakan tasbih, kira-kira 100 ayat panjangnya, pada ruku’ kedua, kira-kira 80, pada ruku’ ketiga, kira-kira 70 dan pada ruku’ keempat, kira-kira 50 ayat. Dan hendaklah sujud itu, kira-kira sepanjang ruku’ pada tiap-tiap raka’at. Kemudian, imam, membaca dua khutbah sesudah selesai shalat, dengan duduk sebentar diantara kedua khutbah itu. Dan menyuruh orang banyak dengan bersedekah, memerdekakan budak dan bertobat. Dan seperti itu juga, dikerjakan pada gerhana bulan. Hanya pada gerhana bulan, pembacaan dijahr, karena dia itu malam. Adapun waktu shalat gerhana matahari, maka yaitu, ketika permulaan gerhana, sampai kepada terang benar. Dan waktunya habis, dengan terbenamnya matahari, sedang dalam keadaan gerhana. Dan habis waktu shalat gerhana bulan, dengan terbit bundaran matahari, karena telah lenyap kekuasaan malam. Dan tidak luput shalat gerhana bulan, dengan terbenamnya bulan dalam keadaan masih gerhana. Karena malam seluruhnya, adalah di bawah kekuasaan bulan. Kalau gerhana itu habis sedang shalat, maka shalat itu diteruskan dengan diringkaskan. Kalau ma’mum memperoleh ruku’ kedua serta imam, maka luputlah baginya raka’at pertama, karena yang pokok ialah ruku’ pertama.


Kedua: shalat minta hujan (shalat istisqa’):

Apabila telah kering segala sungai dan telah putus hujan atau telah runtuh saluran air, maka disunatkan bagi imam, menyuruh orang banyak: pertama, puasa 3 hari dan sekedar yang disanggupi dari sedekah. Dan keluar dari segala perbuatan dhalim dan bertobat dari segala perbuatan ma’siat. Kemudian keluar bersama orang banyak, pada hari keempat, bersama dengan wanita-wanita tua dan anak-anak dalam keadaan bersih, memakai pakaian tua dan tenang, menundukkan diri kepada Tuhan. Kebalikan dari keadaan hari raya. Ada yang mengatakan, sunat dikeluarkan binatang-binatang ternak, karena binatang-binatang itupun mempunyai kepentingan yang sama dengan manusia dan karena sabda Nabi saw: “Kalau tidaklah anak-anak - kecil yang menyusu, orang-orang tua yang ruku’ kepada Tuhan dan binatang-binatang ternak yang memerlukan kepada yang dimakan dan yang diminumnya maka sesungguhnya dituangkan azab sengsara kepada kamu sekalian”. Kalau turut juga keluar orang-orang dzimmi (orang tidak Islam yang berlindung di bawah kekuasaan Islam) dengan keadaan yang membedakan, jangan dilarang. Apabila orang banyak telah berkumpul pada tempat shalat yang luas, dari tanah lapang, lalu diserukan dengan suara yang nyaring: “Ash-shalaatu jaami’ah”(sholat itu berjama’ah). Maka imam bershalat dengan orang banyak itu dua raka’at, seperti shalat hari raya, tanpa takbir. Kemudian, imam membaca dua khutbah dan diantara kedua khutbah itu, duduk sebentar. Dan hendaklah istighfar (memohonkan ampunan Allah), menjadi isi yang terbanyak dari kedua khutbah itu. Dan seyogyalah pada pertengahan khutbah kedua, imam membelakangi orang banyak dan menghadap qiblat, membalikan selendangnya ketika itu, sebagai sempena (tafaa-ul) akan berobah keadaan yang sedang di alami. Begitulah diperbuat Rasulullah saw. Maka dijadikan yang di atas ke bawah, yang di kanan ke kiri dan yang di kiri ke kanan. Dan orang banyakpun berbuat begitu pula. Pada saat ini, semuanya berdo’a dengan suara yang dapat didengar sendiri (sirriyah). Kemudian, imam menghadap orang banyak kembali, lalu menyudahi khutbahnya. Dan dibiarkan selendangnya itu dalam keadaan yang berbalik itu, sampai dibuka, kapan kain yang dipakai itu mau dibuka. Dibacakan dalam do’a itu: “Ya Allah, ya Tuhanku! Sesungguhnya Engkau telah menyuruhkan kami, dengan berdo’a kepada Engkau dan menjanjikan kepada kami akan perkenan Engkau. Maka kami telah berdo’a kepada Engkau, sebagaimana Engkau suruhkan kami, maka perkenankanlah akan do’a kami, sebagaimana Engkau janjikan kepada kami! Ya Allah, ya Tuhan kami! Anugerahilah kepada kami ampunan, dari dosa yang telah kami perbuat dan penerimaan ALLAH dari permintaan kami akan hujan serta keluasan rezeki kami!”. Dan tidak mengapa dengan berdo’a, sesudah shalat dalam tiga hari berpuasa itu, sebelum keluar ke tanah lapang. Do’a ini, mempunyai adab dan syarat bathiniyah dengan bertobat, mengembalikan segala hak orang yang diambil secara dhalim dan lain-lain sebagainya, yang akan datang nanti penjelasannya pada Kitab Do’a.


Ketiga: shalat jenazah:  

Caranya sudah terkenal. Dan telah ijma’ do’a yang diterima dari Nabi saw ialah do’a yang diriwayatkan dalam hadits shahih, dari ‘Auf bin Malik. Berkata ‘Auf: “Aku melihat Rasulullah saw bershalat jenazah, maka aku hafal daripada do’anya ialah: “Ya Allah, ya Tuhan kami! Ampunilah dosa mayit ini, kasihanilah dia, peliharalah jiwanya, ma’afkanlah kesalahannya, muliakanlah tempatnya, lapangkanlah kuburnya, basuhkanlah dia dengan air, dengan air beku dan air hujan batu, sucikanlah dia dari segala kesalahan, sebagaimana disucikan kain putih dari kotoran, gantikanlah dia dengan negeri yang lebih baik daripada negerinya, keluarga yang lebih baik daripada keluarganya, teman hidup yang lebih baik daripada teman hidupnya, masukkanlah dia ke dalam sorga, lindungilah dia dari azab kubur dan siksaan api neraka!” Sehingga ‘Auf berkata: “Aku berangan-angan, kiranya akulah mayit itu!”. Ma’mum yang mendapat takbir kedua, maka seyogyalah menjaga tertib shalatnya sendiri dan bertakbir bersama takbir imam. Apabila imam telah memberi salam, lalu ia menyelesaikan takbirnya yang ketinggalan, seperti yang diperbuat oleh seorang masbuq (ma’mum yang terkemudian mengikuti imam). Karena, kalau ma’mum itu menyegerakan takbirnya, maka tidak ada lagi arti mengikuti imam dalam shalat ini. Sebab takbir-takbir itu adalah merupakan rukun-rukun yang terang padanya. Dan layaklah takbir-takbir itu ditempatkan seperti raka’at-raka’at pada shalat lain. Inilah yang lebih kuat menurut pendapatku, walaupun yang lain itu, merupakan suatu kemungkinan. Hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaan shalat jenazah dan mengurus jenazah itu, adalah terkenal. Maka tidaklah kami memperpanjangkan lagi. Bagaimanakah tidak besar keutamaannya, sedang dia termasuk sebahagian daripada fardlu kifayah? Dan shalat jenazah itu menjadi sunat, terhadap orang yang tidak menjadi fardlu ‘ain atasnya, disebabkan orang lain. Kemudian, ia memperoleh kelebihan fardlu kifayah, walaupun tidak menjadi fardlu ‘ain, karena mereka secara bersama-sama, telah mengerjakan, apa yang menjadi fardlu kifayah itu dan mereka telah menghapuskan dosa dari orang-orang lain. Dari itu, tidaklah yang demikian menjadi sunat, di mana dengan sunat itu tidak terhapus sesuatu fardlu dari seseorang. Disunatkan mencari sebanyak mungkin orang yang bershalat janazah, karena mengharapkan keberkatan dengan banyaknya harapan dan do’a dan dengan banyaknya itu, termasuk di dalamnya orang yang berdo’a yang kiranya diterima Tuhan. Karena apa yang diriwayatkan oleh Kuraib daripada Ibnu Abbas, bahwa telah meninggal seorang anak laki-laki dari Ibnu Abbas, maka berkatalah beliau: “Hai Kuraib! Lihatlah berapa banyak sudah manusia berkumpul!”. Berceritera Kuraib seterusnya: “Lalu aku keluar, maka aku melihat manusia sudah banyak berkumpul. Aku ceriterakan itu kepada Ibnu Abbas”. Menyambung Ibnu Abbas: “Engkau katakan, mereka itu 40 orang?”. Aku menjawab: “Ya!”. Berkata Ibnu Abbas: “Keluarkanlah mayit itu untuk dishalatkan! Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah seorang laki/wanita muslim yang mati, lalu berdiri untuk bershalat pada jenazahnya 40 orang, di mana mereka tidak mempersekutukan sesuatu dengan Allah, melainkan mereka diberi syafa’at oleh Allah ‘Azza wa Jalla pada mayit itu”. Apabila jenazah itu dibawa dan telah sampai ke kuburan atau pada permulaan masuk ke daerah perkuburan, maka hendaklah dibacakan: “Salam sejahtera kepadamu, wahai kaum mu’minin dan muslimin, penduduk dari perkampungan ini! Diberi rahmat kiranya oleh Allah orang-orang yang terdahulu dan yang terkemudian daripada kami. Dan kami - insya Allah - akan mengikuti kamu”. Yang lebih utama, tidaklah meninggalkan tempat itu, sebelum selesai penguburan. Apabila telah diratakan kuburan mayit itu, lalu berdirilah dan bacakan: “Ya Allah, ya Tuhanku! Ini hambaMU, dikembalikan kepadaMU, maka berilah rahmat kepadanya dan kasihanilah dia! Ya Allah, ya Tuhanku! Renggangkanlah bumi daripada kedua lembungnya! Bukakanlah segala pintu langit, untuk ruhnya! Terimalah dia dipihakMU dengan penerimaan yang baik! Ya Allah, ya Tuhanku! Kalau adalah ia berbuat kebaikan, maka lipat gandakanlah pada kebaikannya itu! Dan kalau adalah ia berbuat kejahatan, maka hapuskanlah kejahatannya itu!”.

Keempat: shalat tahiyyat masjid:

dua raka’at atau lebih, adalah sunat muakkadah, sehingga sunat itu tidak hilang walaupun imam sedang membaca khutbah pada hari Jum’at, serta diperkuatkan wajibnya memperhatikaan kepada khutbah dari khatib itu. Kalau dikerjakan shalat fardlu atau shalat qodo (ketika masuk ke dalam masjid), maka berhasillah tahiyyat itu dengan yang demikian dan berolehlah pahala. Karena yang dimaksud, ialah tidak kosong pada permulaan masuknya, daripada ibadah yang tertentu dengan masjid, sebagai menegakkan hak dari masjid. Dari itu, dimakruhkan memasuki masjid tanpa wudlu. Kalau masjid itu dimasuki untuk dilewati saja atau untuk duduk, maka hendaklah dibacakan: “Subhaanallah, walhamdulillaah, walaa ilaaha illallaah, wallahu akbar”. (Maha suci Allah, semua puji-pijian untuk Allah, tidak ada Tuhan kecuali Allah, Allah maha besar) Dibacakan 4 X  dan itu adalah menyamai pahalanya dengan 2 raka’at shalat. Menurut mazhab Asy-Syafi’i ra, tidak dimakruhkan shalat tahiyyat masjid pada waktu-waktu makruh mengerjakan shalat, yaitu: sesudah ‘ashar, sesudah Shubuh, waktu tengah hari, waktu terbit & waktu terbenam matahari, karena diriwayatkan: “Bahwa Rasulullah saw mengerjakan shalat 2 raka’at sesudah ‘Ashar. Lalu ditanya kan kepadanya: “Bukankah engkau telah melarang kami dari ini?”. Menjawab Nabi saw: “Keduanya itu adalah 2 raka’at, yang hendaknya aku kerjakan sesudah Dhuhur, tetapi aku sibuk dengan kedatangan utusan”. Hadits ini menimbulkan 2 hasil pemahaman
1. Kemakruhan itu terletak pada shalat yang tak ada sebab. Dan diantara sebab yang paling lemah, ialah meng-qodo-kan shalat sunat, karena berbeda pendapat para ulama, tentang shalat sunat, apakah di-qodo-kan? Dan kalau dikerjakan kembali shalat sunat yang telah tertinggal itu, apakah qodo itu namanya? Apabila kemakruhan tidak ada, dengan sebab yang paling lemah itu, maka lebih layak lagi, kemakruhan itu tidak ada dengan sebab masuk masjid. Dan masuk masjid itu, adalah suatu sebab yang kuat. Dari itu, tidak dimakruhkan shalat jenazah, apabila jenazah itu telah ada dan tidak dimakruhkan shalat gerhana dan shalat minta hujan pada waktu-waktu dimakruhkan bershalat, karena mempunyai sebab-sebab yang membolehkan.
2. Meng-qodo-kan shalat-shalat sunat, karena Rasulullah saw, telah berbuat demikian. Dan Rasulullah saw adalah ikutan yang paling utama bagi kita. Berkata ‘Aisyah: “Adalah Rasulullah saw apabila sangat tertidur atau sakit, maka beliau tidak bangun mengerjakan shalat pada malam itu. Tetapi beliau mengerjakan shalat dari permulaan siang besoknya, 12 raka’at”. Berkata para ulama, bahwa siapa yang ada di dalam shalat, sehingga tiada dapat menjawab adzan dari muadzin, maka apabila telah memberi salam, lalu meng-qodo-kan dengan menjawabkannya, meskipun muadzin itu sudah diam. Dan tidaklah ada artinya perkataan orang yang mengatakan, bahwa itu adalah seperti yang pertamanya dan bukanlah qodo. Karena, kalau benar demikian, tentulah Nabi saw tidak mengerjakan shalat itu pada waktu dimakruhkan (waktu kirahah). Memang, siapa yang mempunyai wirid, lalu terhalang mengerjakannya dengan sesuatu halangan, maka seyogyalah ia tidak mempermudahkan dirinya untuk meninggalkan wirid itu. Tetapi mengerjakan kembali pada waktu lain, sehingga tidak terbawa-bawa meninggalkan wirid dan bersenang-senang. Mengerjakan kembali itu adalah baik, untuk bermujahadah melawan hawa nafsu. Dan karena Nabi saw bersabda: “Amal perbuatan yang amat disukai Allah Ta’ala, ialah yang terus-menerus, meskipun sedikit”. Dimaksudkan dengan hadits ini, supaya tidak kendur meneruskan amal perbuatan. Dan ‘Aisyah telah meriwayatkan daripada Nabi saw bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan sesuatu ibadah, kemudian ditinggalkannya karena malas, maka dia dikutuk oleh Allah ‘Azza wa Jalla”. Maka hendaklah menjaga diri, jangan sampai termasuk dalam peringatan ini!. Untuk memahami hadits tersebut, bahwa Allah Ta’ala mengutuknya, adalah karena meninggalkan ibadah karena malas. Kalau tidak adalah kutukan dan menjauhkan diri daripada ibadah, tentulah kemalasan itu tidak mempengaruhi apa-apa terhadap dirinya.


Kelima: dua raka’at sesudah wudlu:

disunatkan. Karena wudlu itu, adalah mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Dan maksudnya, ialah shalat. Dan hadats adalah penghalang. Kadang-kadang datang hadats, sebelum shalat, maka runtuhlah wudlu dan sia-sialah usaha yang telah dikerjakan. Dari itu, bersegera kepada dua raka’at tadi, adalah penyempurnaan bagi maksud wudlu, sebelum hilang. Hal ini, dapat diketahui dengan hadits yang diriwayatkan Bilal, karena Nabi saw bersabda: “Aku masuk ke dalam sorga, lalu aku lihat Bilal di dalamnya. Maka aku tanyakan kepada Bilal: “Dengan apa engkau mendahului aku ke dalam sorga?”. Menjawab Bilal: “Tidak aku ketahui sedikitpun sebabnya. Hanya, aku tidak berhadats dari sesuatu wudlu, melainkan aku mengerjakan dua raka’at shalat sesudahnya”.


Keenam: dua raka’at ketika masuk dan ketika keluar dari rumah:

Diriwayatkan Abu Hurairah ra dari Nabi saw, bahwa Nabi saw bersabda: “Apabila engkau keluar dari rumah, maka kerjakanlah shalat 2 raka’at, yang akan mencegah engkau dari tempat keluar yang jahat. Dan apabila engkau masuk ke rumah, maka kerjakanlah shalat 2 raka’at, yang akan mencegah engkau dari tempat masuk yang jahat”. Dan searti dengan itu, tiap-tiap pekerjaan dimulai, pekerjaan mana yang mempunyai arti penting. Dari itu, telah datang hadits yang menerangkan: 2 raka’at ketika melakukan ihram (hajji dan ‘umrah), 2 raka’at ketika permulaan bermusafir dan 2 raka’at ketika kembali dari bermusafir di dalam masjid, sebelum masuk ke rumah. Semuanya itu, diambil dari perbuatan Nabi saw. Dan adalah sebagian orang-orang shalih, apabila memakan suatu makanan, lalu bershalat 2 raka’at. Dan apabila meminum suatu minuman, lalu bershalat 2 raka’at. Begitu juga pada tiap-tiap perbuatan yang dikerjakannya. Dan seyogya lah memulai segala perbuatan, dengan mengambil barakah, dengan menyebutkan nama Allah ‘Azza wa Jalla. Yaitu atas 3 tingkat:
1. Sebahagian, berulang-ulang berkali-kali, seperti makan dan minum. Maka mulailah dengan nama Allah ‘Azza wa Jalla. Bersabda Nabi saw: “Tiap-tiap pekerjaan penting, yang tidak dimulai dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang (artinya: dengan membaca: Bismillaahir-rahmaanir-rahiim), maka adalah kurang berkatnya (barakahnya)”.
2. Yang tidak banyak berulang-ulang, tetapi mempunyai arti yang mendalam, seperti melangsungkan perkawinan, memulai nasehat pengajaran dan bermusyawarah. Maka disunatkan pada segala perbuatan tersebut, dimulai dengan memujikan Allah Ta’ala. Yaitu, orang yang mengawinkan itu membaca: “Alhamdu lillaah, washshalaatu ‘alaa Rasulillaah saw” Aku kawinkan engkau akan anak perempuanku”. Menjawab yang menerima aqad nikah: “Alhamdulillaah, washshalaatu ‘alaa Rasuulillah saw” Aku terima akan nikahnya”. Dan adalah menjadi adat kebiasaan para shahabat ra pada permulaan surat, nasehat dan musyawarah, dengan mendahulukan: memujikan Allah (membaca Alhamdu lillaah).
3.  Yang tidak banyak berulang-ulang dan apabila terjadi, maka berjalan lama dan mempunyai arti yang mendalam, seperti bermusafir, membeli rumah baru, melakukan ihram dan lain-lain sebagainya. Maka disunatkan mendahulukan pekerjaan itu dengan 2 raka’at shalat. Dan sekurang-kurangnya dari pekerjaan tersebut, ialah keluar dan masuk ke rumah, sebab ini termasuk semacam bermusafir yang dekat.


Ketujuh: shalat istikharah (memohon kebajikan):

Siapa yang bercita-cita hendak melangsungkan sesuatu pekerjaan dan tidak diketahuinya akan akibat dari pekerjaan tersebut, apakah baik ditinggalkan atau baik diteruskan, maka dalam menghadapi pekerjaan yang seperti ini, disuruh oleh Nabi saw supaya mengerjakan shalat 2 raka’at, di mana dibacakan pada raka’at pertama surat Al-Fatihah dan Qul yaa ayyuhal-kaafiruun dan pada raka’at kedua surat Al-Fatihah dan Qul huwallaahu ahad. Apabila telah selesai dari shalat, lalu berdo’a dengan membacakan: “Ya Allah, ya Tuhanku! Sesungguhnya aku memohon kebajikan dari Engkau dengan ilmu Engkau, aku memohon tenaga dengan qudrah Engkau, aku meminta pada Engkau dengan kurnia Engkau yang Maha Besar. Sesungguhnya Engkaulah yang berkuasa dan aku tidaklah berkuasa, Engkaulah yang Maha Tahu dan aku tidaklah mengetahui dan Engkaulah yang lebih mengetahui dengan segala yang tersembunyi. Ya Allah, ya Tuhanku! Jika adalah Engkau mengetahui, bahwa pekerjaan ini, baik bagiku, pada agamaku, duniaku dan akibat perbuatanku, yang segera dan yang nanti, maka anugerahilah bagiku kesanggupan dan berkatkanlah bagiku padanya, kemudian mudahkanlah perbuatan itu bagiku. Dan jika adalah Engkau mengetahui, bahwa pekerjaan ini, buruk bagiku, pada agamaku, duniaku dan perbuatanku, yang segera dan yang nanti, maka hindarkanlah aku dari perbuatan itu dan hindarkanlah perbuatan itu daripadaku dan anugerahilah bagiku kesanggupan berbuat kebajikan, di manapun adanya kebajikan itu. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu”. Do’a tersebut, diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah. Berkata Jabir: “Adalah Rasulullah saw mengajari kami, memohon kebajikan pada seluruh perbuatan, sebagaimana mengajari kami, akan sesuatu surat daripada Al-Qur’an. Bersabda Nabi saw: “Apabila bercita-cita seorang kamu suatu hal, maka bershalatlah 2 raka’at, kemudian sebutkanlah nama Allah pada perbuatan itu dan berdo’alah dengan apa yang telah kami sebutkan”. Berkata setengah ahli hikmah: “Siapa yang diberikan 4, niscaya tidak tecegah daripada empat:
1. Siapa yang dianugerahkan tahu berterima kasih (bersyukur), niscaya ia tidak tercegah daripada memperoleh kelebihan.
2. Siapa yang dianugerahkan bertobat, niscaya tidak tercegah daripada diterima tobatnya.
3. Siapa yang dianugerahkan meminta kebajikan, niscaya tidak tercegah daripada memperoleh  kebajikan.
4. Siapa yang dianugerahkan bermusyawarah, niscaya tidak tercegah daripada memperoleh kebenaran.


Kedelapan: shalat hajat:

Siapa yang memperoleh kesulitan dalam menghadapi persoalan, di mana ia memerlukan demi kebaikan agamanya dan dunianya, kepada persoalan yang sukar diatasinya itu, maka hendaklah ia mengerjakan shalat hajat. Diriwayatkan dari Wuhaib bin Al-Ward, di mana Wuhaib berkata: “Sesungguhnya sebahagian daripada do’a yang tidak ditolak, ialah: bershalat seorang hamba sebanyak 12 raka’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at surat Al-Fatihah, ayat Kursy dan Qul huwallaahu ahad. Apabila telah selesai, lalu bersujudlah ia, di mana ia membaca: “Maha Suci Tuhan yang memakai akan kemuliaan dan berfirman dengan dia. Maha Suci Tuhan yang bersifat dengan kebesaran dan kemurahan. Maha Suci Tuhan yang menghinggakan bilangan tiap-tiap sesuatu dengan ilmu Allah.

Maha Suci Tuhan yang tiada seyogyalah bertasbih, selain untuk Allah. Maha Suci Tuhan yang mempunyai nikmat dan kurnia. Maha Suci Tuhan yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. Maha Suci Tuhan yang mempunyai kekuasaan. Aku bermohon kepada ENGKAU dengan segala tempat kemuliaan dari ‘Arasy-MU, dengan rahmat yang setinggi-tingginya dari kitabMU, dengan namaMU Yang Maha Agung, kesungguhanMU yang Maha Tinggi dan kalimat-kalimatMU yang sempurna lagi melengkapi, yang tidak dilampaui oleh orang yang berbuat kebajikan dan yang berbuat kejahatan. Bahwa ENGKAU anugerahkan rahmat kiranya kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad”. Setelah selesai dari itu, maka bermohonlah sesuatu hajat, yang tidak mengandung kemaksiatan. Insya Allah Ta’ala akan diterima. Berkata Wuhaib: “Telah sampai riwayat kepada kami bahwa dikatakan, supaya tidak diajarkan shalat itu kepada orang-orang yang tidak baik. Nanti diperguna kannya untuk melakukan kemaksiatan kepada Allah ‘Azza wa jalla”.


Kesembilan: shalat Tasbih:

 “Shalat ini dinukilkan dalam bentuknya, yang tidak ditentukan dengan sesuatu waktu dan sesuatu sebab. Disunatkan, bahwa tiada minggu yang tidak dikerjakan shalat tasbih sekali atau sebulan sekali. Diriwayatkan oleh ‘Akramah daripada Ibnu Abbas ra bahwa Nabi saw bersabda kepada Abbas bin Abdul Muttalib: “Tidaklah aku berikan kepadamu, tidaklah aku serahkan kepadamu, tidakkah aku datangkan kepadamu, sesuatu, di mana apabila engkau kerjakan, niscaya diampunkan Allah dosa engkau, yang awal dan yang akhir, yang lama dan yang baru, yang salah dan yang sengaja, yang sembunyi dan yang nyata? Yaitu: engkau kerjakan shalat 4 raka’at, di mana engkau bacakan pada tiap-tiap raka’at, surat Al-Fatihah dan suatu surat dari Al-Qur'an. Apabila telah selesai daripada bacaan pada awal raka’at dan engkau sedang berdiri, maka bacalah: “Subhaanallaah walhamdulillaah wa laa ilaaha illallaah wallaahu akbar” 15 X . Kemudian engkau ruku’, di mana engkau baca sedang ruku’ itu, yang tadi, 10 X . Kemudian, engkau bangkit daripada ruku’, lalu engkau baca yang tadi sedang berdiri, 10 X . Kemudian, engkau sujud, di mana engkau bacakan yang  tadi, 10 X . Kemudian engkau bangkit daripada sujud, lalu engkau bacakan yang tadi sedang duduk, 10 X . Kemudian engkau sujud lagi, lalu bacakan yang tadi, di mana engkau sedang sujud, 10 X . Kemudian, engkau bangkit daripada sujud, lalu engkau bacakan yang tadi, 10 X . Jadi semuanya, 75 X  pada tiap-tiap raka’at yang engkau kerjakan itu, dalam 4 rak’at. Kalau sanggup, engkau kerjakan shalat tasbih itu, pada tiap-tiap hari sekali, maka kerjakanlah! Kalau tidak sanggup, maka tiap-tiap Jum’at (minggu) sekali. Kalau tidak juga sanggup, maka tiap-tiap bulan sekali. Kalau tidak juga sanggup, maka pada tiap-tiap tahun sekali”. Pada riwayat yang lain, dibacakan pada permulaan shalat: “Maha suci Engkau wahai Tuhanku! Dan dengan pujian Engkau dan maha suci nama Engkau dan maha tinggi kesungguhan Engkau dan maha qudus nama Engkau. Dan tiada Tuhan selain Engkau”. Kemudian, dibacakan tasbih 15 X. Sebelum pembacaan Al-Fatihah dan surat dari Al-Qur’an dan 10 X  sesudah pembacaan. Yang masih tinggal (sisanya) seperti dahulu juga, sepuluh-sepuluh. Dan tidak dibacakan tasbih sesudah sujud yang penghabisan, ketika sedang duduk. Cara inilah yang terbaik, yang dipilih oleh Ibnul Mubarak. Dan jumlah tasbih pada ke-4 raka’at itu, ialah 300 X , pada kedua macam riwayat tadi. Kalau shalat tasbih itu dilakukan pada siang hari, maka dengan sekali salam saja. Dan kalau dilakukan pada malam hari, maka lebih baik dengan dua kali salam, karena tersebut dalam hadits: “Bahwa shalat malam itu, dua-dua”. Kalau ditambahkan sesudah tasbih, bacaan: “Laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘adhiim”, maka adalah baik.

Telah datang yang demikian dalam setengah riwayat. Inilah, shalat-shalat yang dinukilkan. Dan tidak disunatkan satupun dari shalat-shalat sunat ini, pada waktu yang dimakruhkan, selain shalat tahiyyat masjid. Dan apa yang kami sebutkan sesudah tahiyyat masjid, yaitu: 2 raka’at wudlu, shalat bermusafir, keluar dari rumah dan istikharah, maka tidak disunatkan pada waktu yang dimakruhkan. Karena larangannya lebih kuat dan sebab-sebab tersebut adalah lemah. Maka tidak sampai ia kepada derajat shalat gerhana, minta hujan dan tahiyyat masjid. Aku melihat sebagian kaum shufi, mengerjakan 2 raka’at shalat sunat wudlu, pada waktu-waktu yang dimakruhkan. Dan ini, adalah amat jauh daripada kebenaran. Karena wudlu tidaklah sebab bagi shalat, tetapi shalat adalah sebab bagi wudlu. Maka seyogyalah wudlu, untuk bershalat. Tidaklah bershalat, karena telah berwudlu. Tiap-tiap orang yang berhadats, yang bermaksud mengerjakan shalat pada waktu dimakruhkan, maka tiada jalan baginya, selain ia berwudlu dan bershalat. Maka tidak ada lagi artinya bagi kemakruhan. Dan tidak layaklah ia meniatkan 2 raka’at wudlu, sebagaimana ia meniatkan 2 raka’at tahiyyat masjid. Tetapi apabila ia berwudlu, lalu bershalat 2 raka’at, untuk amalan sunat, supaya tidak kosong wudlunya, seperti yang dikerjakan Bilal. Maka itu adalah amalan sunat semata-mata, yang dilakukan sesudah wudlu. Hadits yang diriwayatkan Bilal itu, tidaklah menunjukkan bahwa wudlu adalah suatu sebab, seperti gerhana dan tahiyyat masjid, sehingga ia niatkan 2 raka’at wudlu. Maka mustahillah diniatkan dengan shalat, akan wudlu, tetapi seyogyalah diniatkan dengan wudlu akan sholat. Bagaimanakah dapat teratur, untuk ia mengatakan pada wudlunya “aku wudlu untuk sholatku” dan ia mengatakan pada shalatnya: “aku bershalat untuk wudluku ?”. Tetapi orang yang bermaksud menjaga wudlunya dari kekosongan pada waktu dimakruhkan itu, hendaklah ia meniatkan qodlo jika mungkin ada dalam tanggungan nya sesuatu sholat, yang belum dilaksanakan karena sesuatu sebab. Dan mengkodokan sholat pada waktu-waktu dimakruhkan, adalah tidak makruh. Adapun niat berbuat sunat, maka tidak adalah cara baginya. Mengenai larangan pada waktu-waktu yang dimakruhkan, mempunyai 3 hal penting:
1. Menjaga daripada penyerupaan dengan penyembah-penyembah matahari.
2. Menjaga daripada bertebaran setan-setan, karena sabda Nabi saw: “Sesungguhnya matahari itu terbit dan bersamanya disertai setan. Apabila ia terbit, maka setan menyertainya dan apabila matahari itu meninggi, lalu memisahkan diri daripadanya. Ketika tengah hari setan itu menyertai matahari lagi. Apabila telah gelincir, lalu setan itu memisahkann diri daripadanya. Dan apabila matahari itu hampir terbenam, maka setan itu menyertainya. Dan apabila telah terbenam, lalu setan itu memisahkan diri daripadanya”. Nabi saw  melarang shalat pada waktu-waktu yang tersebut serta diberitahukan sebab-sebabnya.
3. Bahwa mereka yang berjalan pada jalan akhirat, senantiasa rajin mengerjakan shalat pada segala waktu. Dan kerajinan atas sesuatu bentuk daripada beberapa ibadah, mendatangkan kebosanan. Maka manakala datang larangan daripada ibadah itu pada suatu saat, niscaya bertambahlah semangat dan bangkitlah kemauan yang mendorong untuk mengerjakannya. Dan manusia itu amat suka mengerjakan sesuatu yang dilarang. Maka dalam pengosongan segala waktu tersebut, adalah menambahkan kemauan dan hasrat,  untuk menunggu habisnya waktu itu. Dari itu, ditentukan segala waktu ini, dengan bertasbih dan beristighfar. Karena menjaga daripada kebosanan dengan terus-menerus dengan semacam ibadah dan memperoleh kegembiraan dengan berpindah daripada semacam ibadah kepada macam yang lain. Maka dalam perpindahan pekerjaan dan pembaharuannya, datanglah kesenangan dan kerajinan. Dan dalam tetapnya bekerja dengan sesuatu pekerjaan, datanglah perasaan berat dan bosan. Dari itu, tidaklah shalat, semata-mata sujud, tidaklah semata-mata ruku’ dan semata-mata berdiri. Tetapi segala ibadah itu, adalah tersusun daripada bermacam-macam amal perbuatan dan berbagai macam dzikir. Karena hati memperoleh kelezatan baru daripada berbuat dengan amalan dan bacaan tadi, ketika berpindah kepadanya. Kalau dibiasakan kepada semacam saja niscaya segeralah datang kebosanan. Apabila 3 perkara yang tersebut itu, adalah hal-hal yang penting, tentang terlarang mengerjakan shalat pada waktu-waktu yang dimakruhkan dan lain-lain sebagainya, dari kunci-kunci rahasia yang tidak dapat diketahui, menurut kekuatan otak manusia, hanya Allah dan RasulNYAlah yang mengetahuinya, maka hal-hal yang penting itu, tidaklah dibiarkan begitu saja, kecuali dengan sebab-sebab yang penting pula pada agama. Seumpama mengqodokan shalat-shalat, shalat minta hujan, shalat gerhana bulan dan shalat tahiyyat masjid.

Adapun apa yang lemah daripadanya, maka tidak layaklah maksud dari larangan itu dilanggar. Inilah, yang lebih kuat menurut pendapat kami! Wallahu a’lam! (Allah Yang Maha Tahu!). telah selesailah “Kitab Rahasia-rahasia Shalat”, dari “Kitab Ihya’ Ulumiddin”, yang akan disambung, insya Allah, dengan “Kitab Rahasia-rahasia Zakat”, dengan segala pujian kepada Allah, atas pertolongan dan kebaikan taufiq Allah.

Segala pujian bagi Allah, Tuhan Yang Maha Esa dan rahmat Allah kepada sebaik-baik makhluk Allah Muhammad dan kepada keluarga serta sekalian shahabatnya, dengan kesejahteraan yang sebanyak-banyaknya!.