Catatan Popular

Khamis, 12 Januari 2017

Abdullah Ibnu Ummi Maktum Yang Buta Tapi Celik Mata Hatinya

“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran lalu pengajaran itu memberi manfa’at kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Rabb itu adalah suatu peringatan, maka barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya.” (‘Abasa 1-2)

Menurut beberapa orang Ahli tafsir, 7 ayat-ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan Ibnu Ummi Maktum.

Abdullah Ibnu Ummi Maktum radhiallâhu ‘anhu

Siapakah dia dan darimana asal-usulnya? Apakah ia mempunyai kedudukan sosial dalam kabilah Arab atau tengah-tengah kaum Quraisy? Apakah ia tergolong salah seorang penyair tenar yan suaranya berkumandang di Suuq ‘Ukazh, mendeklamasikan kepahlawanan dan keutamaan suatu kabilah, lalu suaranya itu terdengar ke sana kemari, menjadi pembicaraan orang ramai? Atau, barangkali ia seorang ahli perang yang berani dan pahlawan yang tak terkalahkan di medan laga, yang dijagokan para penyair dalam syairnya? Atau, ia termasuk salah seorang tokoh yang berpikiran cerdik dan jenius, suara dan caranya diterima serta dihargai para tokoh Arab dan penguasanya?

Ibnu Ummi Maktum radhiallaahu ‘anhu bukanlah salah seorang dari mereka, bahkan namanya pun belum pernah dikenal orang sebelum Islam. Apalagi orang akan mengindahkan suaranya. Ia seorang awam di kota Mekah, hidup untuk diri dan bersama dirinya. Suaranya tidak pernah didengar orang dan rupanya tidak pernah dikenal orang.

Malah, namanya pun ada yang memperselisihkan. Penduduk kota Madinah berpendapat bahwa namanya adalah Abdullah Ibnu Ummi Maktum, tetapi orang Iraq berpendapat bahwa namanya adalah ‘Amru bin Ummi Maktum. Walaupun demikian, mereka semua sepakat bahwa nama ibunya adalah Atikah binti Abdullah bin Ma’ish. Dia adalah putera dari bibi Khadijah binti Khuwalid.

Matanya buta sejak kecil, penduduk kota Mekah mengenalnya sebagai seorang yang rajin mencari rezeki dan belajar ilmu pengetahuan. Meskipun ia seorang tunanetra , namun semangatnya bergelora untuk belajar dan mengetahui segala yang didengarnya. Ia menggunakan pendengarannya sebagai pengganti matanya, apa yang didengarnya tidak dilupakan lagi sehingga ia mampu mengutarakan kembali apa yang pernah didengarnya dengan baik sekali.

Dia mendengar orang-orang mustadh’afin dan budak-budak (hamba sahaya) di kota Mekah bersembunyi-sembunyi pergi ke Darul Arqam untuk mendengarkan berita-berita dari langit yang dibawakan Muhammad al-Amin. Ia merasa bahwa di Mekah terjadi pergolakan yang lain dari biasanya. Perang urat saraf mulai tampak di permukaan ; wahyu yang disampaikan kepada Muhammad al-Amin itu menganjurkan persamaan dan persaudaraan antar sesama umat manusia. Kaum Mustadh’afin dan para hamba sahaya tertarik akan semua seruan itu, sedangkan tohok-tokoh Quraisy berusaha keras mempertahankan system kehidupan Jahiliah, tanpa mengindahkan perkembangan zaman dan tuntutan hati nurani masyarakat umum.
Ibnu Ummi Maktum memutuskan untuk pergi sendiri ke majelis Ibnul Arqam untuk mendengarkan dan meyakini berita yang sedang ramai diperbincangkan orang itu. Ia mengambil tongkatnya dan mengayunkan langkahnya menuju kesana. Ternyata apa yang didengarnya lebih hebat dari apa yang diberitakan orang; rasanya suara yang didengarnya berhasil membuka pintu hatinya dan menimbulkan rasa ketenangan serta kedamaian dalam kalbunya. Kini, ia tidak takut dan gentar terhadap seluruh kekuatan bumi, sesudah ia mendengarkan kalamullah yang diwahyukan kepada Muhammad al-Amin dengan perantaraan Malaikat Jibril, untuk mengukuhkan tauhid kepada Allah al-Khaliq, untuk mempersamakan antar umat manusia, untuk menegakkan keadilan antar berbagai lapisan masyarakat, dan untuk mengumandangkan rasa persaudaraan serta kedamaian ke seluruh pelosok dunia yang sedang dilanda kezaliman dan kesesatan.

Ibnu Ummi Maktum mengulurkan tangannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan ke-Islamannya, keluar dari lingkungan Jahiliah, dan masuk kedalam barisan kaum beriman, menyatakan janji kepada Allah Ta’ala dan kepada Rasul-Nya untuk mengorbankan segala-segala, termasuk nyawanya demi tegaknya agama Islam. Semangatnya untuk mengetahui agama itu lebih banyak dan mendalam, tidak tertahankan lagi; di saat ada kesempatan bertanya, ia mengajukan pertanyaan tentang berbagai persoalan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam . Apa yang didengarnya dicerna dan diresapi dengan sebaik-baiknya.

Kaum Quraisy tidak mampu menumpas dakwah langit itu. Akhirnya, mereka mengubah taktik dengan memperlambat gerak dan mempersempit penyebarannya dengan mengejar-ngejar dan memaksa para pengikutnya yang tidak berdaya dan tidak bersenajta. Akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam . Memberikan izin kepada para pengikutnya pergi berhijrah dengan membawaserta agamanya. Di antara para Muhajirin itu terdapat Ibnu Ummi Maktum. Para sejarawan muslim berbeda pendapat tentang sejarah hijrahnya itu. Ada yang menetapkan bahwa ia hijrah sesudah perang Badar dan tinggal di Darul Qurra’. Ada pula yang mengatakan bahwa ia hijrah sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, sebelum perang Badar. 

Saya lebih condong menerima riwayat yang terakhir ini, seperti yang diutarakan Abu Ishaq dari al-Barra’ bin Azib, ‘Pada waktu itu, orang yang pertama hijrah ke negeri kami ialah Mush’ab bin Umair dari bani Abdid-Dar bin Qushai. Kami tanyakan kepadanya , ‘Apa kabar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ?’ Ia menjawab , ‘Beliau baik-baik saja di Mekah, sedang para sahabat-nya akan segera menyusulku.’ Sesudah itu datang Abdullah Ibnu Ummi Maktum yang tunanetra itu. Kami tanyakan pula kepadanya, ‘Apa kabar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam .?’ Ia menjawab ‘Mereka segera akan menyusulku.'”

Ia mulai melakukan tugasnya yang sejak lama sudah dipersiapkannya dengan mengajukan banyak pertanyaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu mengajarkan dasar-dasar agama Islam, mengajar penduduk kota Madinah menghafal ayat-ayat al-Qur’anul-Karim, dan menyiapkan hati serta jiwa masyarakat menyambut kedatangan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam . Tak lama setelah itu, sampailah berita bahwa Rasulullah akan segera datang di Madinah. Ibnu Ummi Maktum bersama para penyambut lainnya berderet-deret di tepi jalan menyambut kedatangan kekasih Allah yang sudah lama tidak terdengar suara dan pelajarannya.
Menurut sebagian perawi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di rumah Bani an-Najjar. Beliau lalu membangun masjidnya untuk dijadikan sekolah terbesar bagi generasi yang pernah dikenal umat manusia, yang mengemban petunjuk dan Kitab Allah. Ibnu Ummi Maktum senantiasa menyertai kegiatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam . Ia ikut aktif dalam pembangunan masjidnya, tidak pernah absen dalam mengikuti pelajaran yang diberikannya, selalu shalat jama’ah di belakang beliau, dan hampir tidak ada ayat yang turun di Madinah yang tidak diketahuinya. Malah, ia puaskan telinganya dalam mendengarkan semua sabda Rasulullah dan pengarahan langit yang dikirimkan Allah Ta’ala kepada hamba-Nya, untuk memancarkan persamaan, kedamaian, dan keadilan di seluruh jagat raya ini.
Menurut Anas bin Malik radhiallaahu ‘anhu, “Pada suatu hari, Malaikat Jibril datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam . Disana ada Ibnu ummi Maktum; ia lalu bertanya , ‘Sejak kapan kau tidak dapat melihat?’
‘Sejak kanak-kanak.’
‘Allah Ta’ala berfirman, ‘Apabila Aku mengambil indra penglihatan hamba-Ku, tiada imbalan baginya selain surga.”
‘Selamat bagimu, wahai Ibnu Ummi Maktum! Engkau telah berhasil menjadi sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan mendapat berita gembira masuk surga, langsung dari malaikat Jibril.'”

Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjumpainya, beliau suka berucap, “Selamat datang, wahai orang yang dititipkan Tuhanku untuk diperlakukan dengan baik!”

Apabila Bilal radhiallaahu ‘anhu tidak ada, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam suka sekali menyuruhnya mengumandangkan azan shalat lima waktu karena suaranya merdu dan lembut, tetapi kalau Bilal hadir, ia yang adzan dan Ibnu Ummi Maktum yang iqamat. Pada bulan Ramadhan, Bilal radhiallaahu ‘anhu azan untuk mengingatkan orang akan waktu makan-minum sahur, tetapi kalau terdengar azan Ibnu Ummi Maktum, makan-minum harus dihentikan; itu tanda waktu imsak sudah tiba.

Menurut Abdullah bin Umar radhiallaahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Apabila bilal azan pada malam hari, maka kalian boleh makan dan minum hingga mendengar azannya Ibnu Ummi Maktum!”

Ibnu Ummi Maktum termasuk sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang sangat mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam . Di hatinya, beliau lebih dari sanak keluarga, bahkan dari diri pribadinya sendiri. Mereka semua, termasuk Ibnu Ummi Maktum, sanggup menahan derita serta cerca orang terhadap diri dan sanak keluarganya, bahkan bisa memaafkan hal itu, tetapi tidak bisa menerima dan memaafkan hal itu bila ditujukan kepada Rasulullah.

Ibnu Ummi Maktum pernah tinggal di rumah seorang wanita Yahudi, bibi seorang Anshar. Wanita itu baik budi dan melayani makan-minumnya, tetapi mulutnya tidak pernah diam menyerang orang-orang yang paling dicintai Ibnu Ummi Maktum. Ia tidak sabar mendengar ejekan dan cercaan itu. Ia berusaha beberapa kali menegurnya, tetapi teguran dan peringatannya itu tidak diindahkan. Terpaksalah ia memukulnya. Ternyata pukulan itu mematikan. Hal ini dilaporkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sesudah ia dihadapkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya,
“Mengapa kau bertindak demikian?”

“Wahai Rasulullah! Sungguh, ia seorang yang baik budi terhadap diriku, namun ia senantiasa mencela dan mencerca Allah dan Rasul-Nya, maka terpaksalah aku memukulnya untuk menghentikannya, namun kiranya ajalnya sudah sampai.”

“Allah telah menjauhkannya dan ia telah membatalkan darahnya?????.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sering mengangkatnya sebagai wakil apabila beliau keluar meninggalkan Madinah dalam peperangan, umpamanya ketika pergi menyerang Kabilah Banu Sulaim dan Kabilah Ghathafan. Ia menjadi Imam jamaah dan Khatib shalat Jumat. Begitu pula ketika Rasulullah pergi berperang ke Uhud, Hamra’al-Asad, Bani an-Nadhir, Khandaq, Bani Quraizah, Bani Lahyan, al-Ghabah, Dzi Qirad, dan Umrah al-Hudaibiyah.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam terlibat dalam penyerangan ofensif sebanyak tiga belas kali; beliau selalu mengangkat Ibnu Ummi Maktum sebagai pejabat untuk menggantikannya di Madinah, mengimami orang shalat jamaah, dan lain-lain, padahal ia seorang tunanetra,” demikian ucap asy-Sya’bi.

Ia mengikuti kehidupan sosial dan politik kaum muslimin, mengikuti kegiatan berbagai perutusan yang pergi dan datang menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam . Ia sering sekali berpuasa dan shalat malam. Hampir seluruh masa hidupnya diisi dengan peribadatan atau ikut berperang dalam kegiatan kaum muslimin. Kemudian, turunlah firman Allah,
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak terut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat…” (Q.,. 4/an-Nisaa': 95)

Jadi, di sana masih terdapat lapangan peribadahan yang ganjarannya lebih utama dari ganjaran yang mungkin diperolehnya. Ada suatu taqarrub yang dilakukan orang, yang lebih mendekatkan orang itu kepada Allah Ta’ala lebih dari dirinya. Ia lalu merintih menangisi nasibnya kepada Allah Ta’ala, “Ya Allah, Engkau mengujiku dengan kebutaan. Apa yang dapat aku lakukan selain mengharap rahmatMu yang meliputi segala-galanya.” Lalu turunlah firman-Nya,.. “yang tidak mempunyai uzur…,” sebagai pelengkap.

Menurut Ibnu Abbas radhiallaahu ‘anhu, “Ketika firman Allah, ‘Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yagn berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka…,’ diturunkan, Abdullah bin Ummi Maktum yang buta (tunanetra) itu datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam , lalu bertanya, ‘Wahi Rasulullah, Allah telah menurunkan keutamaan jihad fi sabilillah ; seperti yang baginda ketahui, aku ini seorang tunanetra, tidak bisa ikut berjihad, apakah kepadaku diberi izin tidak ikut berjihad?

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Aku belum mendapat keterangan mengenai dirimu dan orang-orang yang senasib denganmu.’

Ibnu Ummi Maktum lalu menengadahkan wajahnya dan mengangkat kedua tangannya seraya berseru, ‘Ya Allah, aku memohon pertimbangan-Mu mengenai pengelihatanku ini.’ Lalu, turunlah ayat, ‘Tidak sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunya uzur dengan orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka…'”
Izin sudah ia peroleh dari Allah Ta’ala; apakah ia memanfaatkan izin itu? akan mengikuti pasukan Islam yang menuju ke al-Qadisiyah. Ia ingin memperoleh ganjaran seorang mujahid. Ia memohon kepada komandan perang, “Hai kekasih Allah, hai sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam , Hai pahlawan perang, serahkan bendera perang itu kepadaku. Aku seorang tunanetra, tak mungkin bisa lari. Nanti tempatkanlah aku diantara kedua pasukan yang berperang.”

Menurut Qotadah, Anas bin Malik radhiallaahu ‘anhu berkata: “dalam perang al-Qadisiyah, Abdullah bin Ummi Maktum memegang bendera hitam dan memakai baju besi.”
Ia lalu kembali ke Madinah dan meninggal dunia di sana. Semoga Allah Ta’ala merahmatinya, .


Sebab turunnya Ayat

Menurut Ibnu Abbas radhiallaahu ‘anhu : “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang menerima kedatangan Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahal, dan al-Abbas bin Abdul Muththalib, pada waktu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berusaha keras menawarkan Islam kepada mereka supaya mereka beriman, tiba-tiba datanglah seorang tunanetra yang dikenal dengan panggilan Abdullan bin Ummi Maktum. Ia minta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam supaya kepadanya dibacakan ayat-ayat Al-Qur’anul Karim, “Ya Rasulullah, ajarkan kepadaku apa yang diajarkan Allah kepadamu!”.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu mengerutkan mukanya dan memalingkan pandangannya, kesal kepada omongannya. Ia lalu meneruskan pembicaraannya melayani tamu-tamunya. Sesudah pertemuan itu usai, beliau terus pergi dan keluarganya meninggalkan tempat itu, kemudian turunlah ayat, ” ‘Abasa warawalla” .

Sesudah ayat-ayat itu turun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sangat menghormati Ibnu Ummi Maktum. Kalau ia datang, selalu ditanyakan,” Apa keperluanmu..? Apa perlu bantuanku?” Kalau ia hendak pergi, selalulah ditanyakan,” Apakah kau memerlukan sesuatu?”
Seorang miskin yang tunanetra itu datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam seperti biasanya ingin belajar dan memperdalam agama Allah Ta’ala. Kali ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang sibuk melayani beberapa tokoh Quraisy, dengan harapan kalau mereka masuk Islam maka akan meringankan tugasnya dan akan memudahkan perkembangan agama itu karena merekalah yang selalu merintangi perkembangan Islam dengan harta, kedudukan, dan wibawanya. Mereka berusaha keras menghalang-halangi orang dari agama Islam dan menyempitkan ruang gerak dakwah dengan berbagai cara sehingga hampir tidak berkembang di Mekah. Orang-orang di luar kota Mekah sudah tentu sulit menerima agama baru yang ditentang keras oleh orang-orang yang paling dekat dengan penganjurnya itu.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyibukkan diri dengan orang-orang itu bukan demi kepentingan pribadinya, tapi demi kepentingan pengembangan Islam dan kepentingan kaum muslimin juga. Kalau mereka masuk Islam maka diharapkan semua rintangan yang membentang di hadapan para dai dan dakwah Islam bisa disingkirkan. Ibnu Ummi Maktum mengulang-ngulang harapannya itu sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam makin kesal dan gusar karena ia telah mengganggu pembicaraannya dengan para tamunya itu. Rasa benci nampak diwajahnya dengan mengerutkan mukanya dan juga memalingkan pandangannya. 

Disini, Allah berfirman dengan jelas dan tegas, dan mencela sikap Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam seorang yang memiliki akhlak yang luhur. 

Firman-Nya,
Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran lalu pengajaran itu memberi manfa’at kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. (Q.,. ‘Abasa: 1-6)


Sejak itulah, kata ats-Tsauri, kalau Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melihat Ibnu Ummi Maktum datang, beliau menggelar baju luarnya seraya bersabda, “Selamat datang sahabat, yang kau dicela Tuhanku karenannya! Apa kau memerlukan sesuatu?”

Tiada ulasan: